Reporter: Shintia Rahma Islamiati | Editor: Putri Werdiningsih
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tren perjalanan wisata ke luar negeri (outbound) terus menunjukkan peningkatan menjelang akhir tahun.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah perjalanan wisatawan Indonesia ke luar negeri pada September 2025 mencapai 695,61 ribu perjalanan, naik 5,25% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya, dan tumbuh 1,6% dibanding bulan sebelumnya.
Negara-negara ASEAN masih menjadi destinasi favorit. Malaysia menempati urutan teratas dengan pangsa 28,92%, disusul Arab Saudi 18,77%, dan Singapura 13,09%.
Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia (ICPI) Azril Azahari mengatakan, tren minat wisata ke luar negeri diperkirakan terus berlanjut hingga akhir tahun, terutama saat libur Natal dan Tahun Baru (Nataru).
“Banyak orang kecewa dengan harga wisata dalam negeri yang terlalu tinggi. Kalau bepergian sekeluarga, mereka justru lebih memilih ke Malaysia atau Singapura karena lebih murah,” ujarnya kepada Kontan, Rabu (13/11/2025).
Baca Juga: Kunjungan Wisman Turun, Industri Pariwisata Harap Pulih di Akhir Tahun 2025
Menurut Azril, faktor biaya kini menjadi penentu utama dalam keputusan berwisata.
“Ke Penang atau Hainan bisa lebih hemat dibanding ke Bali atau Surabaya. Harga tiket pesawat domestik jadi penyebab utama karena biaya avtur di Indonesia 28% lebih mahal dibanding Singapura. Akibatnya, harga tiket kita termasuk tertinggi kedua di dunia setelah Brasil,” jelasnya.
Selain harga, Azril menyoroti aspek kenyamanan wisata domestik yang masih perlu banyak perbaikan, mulai dari kemacetan, kebersihan, hingga minimnya promosi.
“Negara lain seperti Singapura mampu menarik wisatawan lewat kombinasi hiburan dan belanja. Indonesia punya potensi besar, misalnya lewat pusat belanja seperti Tanah Abang dan Thamrin City, tapi belum dioptimalkan,” tambahnya.
Ia juga mengkritik minimnya kebijakan pemerintah dalam menghadapi lonjakan wisata akhir tahun.
“Tidak ada kebijakan khusus menjelang Nataru. Pariwisata kita seperti berjalan autopilot,” ujarnya tegas.
Azril turut mengingatkan bahwa harga tiket pesawat berpotensi semakin mahal pada 2026, seiring penerapan Sustainable Aviation Fuel (SAF) sebagai bagian dari kebijakan dekarbonisasi global.
“Mulai 2026, Singapura mewajibkan maskapai menggunakan minimal 1% SAF, dan secara global pada 2030 ditargetkan mencapai 3%–5%. Kalau Indonesia tidak siap, pesawat kita bisa dilarang singgah di bandara negara lain,” jelasnya.
Baca Juga: Apindo Optimistis Libur Nataru Perkuat Pemulihan Industri Pariwisata
Menurut Azril, kenaikan harga tiket sulit dihindari karena harga SAF 6-10 kali lipat lebih mahal dibanding avtur biasa, sementara harga avtur Indonesia sendiri sudah termasuk yang tertinggi di dunia.
“Kalau avtur saja mahal, ditambah SAF yang lebih mahal lagi serta beban asuransi meningkat, bagaimana mungkin tiket bisa turun? Kecuali Pertamina menurunkan harga avtur, itu pun belum terjadi sampai sekarang,” tegasnya.
Azril menilai, pemerintah belum menunjukkan kesiapan menghadapi tantangan tersebut.
“Untuk antisipasi menjelang Nataru saja, situasinya masih adem-ayem. Belum ada langkah konkret menghadapi perubahan besar seperti SAF dan dekarbonisasi,” tutup Azril.
Selanjutnya: Dikabarkan Bakal Kembali ke Hulu Migas RI, Ini Tanggapan Shell
Menarik Dibaca: Edukasi Gizi dak Kesehatan Cara Optimalkan Tumbuh Kembang Balita
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













