kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45913,59   -9,90   -1.07%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Di Abu Dhabi, Menperin pamerkan insentif industri


Selasa, 28 Maret 2017 / 18:10 WIB
Di Abu Dhabi, Menperin pamerkan insentif industri


Reporter: Eldo Christoffel Rafael | Editor: Adi Wikanto

JAKARTA. Industri mebel nasional berpotensi besar untuk tumbuh dan berkembang karena didukung sumber bahan baku melimpah dan perajin yang terampil. Oleh karena itu, pemerintah prioritaskan pengembangan sektor padat karya berorientasi ekspor ini agar semakin produktif dan berdaya saing melalui kebijakan-kebijakan strategis.

“Pemerintah berupaya mengurangi berbagai hambatan yang selama ini dihadapi pelaku usaha mebel nasional dalam proses produksi, pemasaran, maupun ekspor,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto di sela kegiatannya menghadiri Global Manufacturing and Industrialisation Summit (GMIS) 2017 di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, dalam keterangan tertulis, Selasa (28/3).

Misalnya, Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dengan dokumen V-Legal yang sudah diberlakukan wajib bagi industri furnitur. “Menurut pelaku industri furnitur, SVLK pada dasarnya belum memberikan manfaat bagi mereka khususnya terkait keterimaan dokumen V-Legal di negara tujuan ekspor,” ujar Airlangga.

Saat ini, baru Uni Eropa yang sudah memiliki kerangka kerja sama Forest Law Enforcement, Governance and Trade Voluntary Partnership Agreement (FLEGT VPA), sedangkan kebijakan ini berlaku ke seluruh negara tujuan ekspor.

Dalam upaya mengatasi hal tersebut, Airlangga menegaskan, perlunya koordinasi dengan pemerintah Uni Eropa (G to G) untuk menghilangkan kendala teknis yang menghambat produk Indonesia masuk ke pasar Uni Eropa. “Sehingga produk furnitur Indonesia dapat privilege masuk ke pasar Uni Eropa melalui Greenline dan melakukan negosiasi dengan negara tujuan ekspor lainnya untuk meningkatkan keberterimaan SVLK,” tuturnya.

Opsi lainnya, yakni mengeluarkan atau mengecualikan produk furnitur dan kerajinan kayu dari kewajiban SVLK. “Makanya, SVLK diminta untuk disederhanakan dan bisa dikomunikasikan kepada seluruh konsumen,” imbuh Airlangga.

Lebih lanjut, pihaknya juga mengusulkan agar perusahaan yang sudah mendapat fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) tidak perlu rekomendasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk melakukan impor kayu karena akan menghambat jalannya proses produksi.

“Saat ini, banyak sekali bahan baku kayu yang harus diimpor oleh pelaku industri furnitur, seperti kayu oak dan poplar,” sebutnya. Jenis-jenis kayu tersebut tidak tersedia di dalam negeri sehingga untuk memenuhi kebutuhan, perlu dilakukan impor.

Airlangga mengungkapkan, hambatan lainnya, yaitu selama ini impor barang contoh (sampel) furnitur masih harus melalui proses karantina oleh Kementerian Pertanian. Padahal produk furnitur merupakan produk olahan, di mana sebelum diimpor sudah melalui proses fumigasi di negara asalnya sehingga bebas hama penyakit.

“Proses karantina sampel furnitur yang memakan waktu mengakibatkan tertundanya proses produksi furnitur,” jelasnya. Untuk itu, Menperin menyarankan agar sampel furnitur tidak lagi harus melalui proses karantina.

Airlangga menyampaikan, pemerintah juga telah menyiapkan fasilitas pajak seperti tax allowance bagi pelaku usaha furnitur di Indonesia agar produk furnitur Indonesia semakin bersaing.

“Industri furnitur merupakan salah satu sektor yang dapat memanfaatkan kebijakan pemotongan pajak penghasilan dan penundaan pembayaran pajak penghasilan,” paparnya. Insentif ini diberikan dengan tujuan mempermudah cash flow perusahaan dan mengurangi beban biaya tenaga kerja. “Kalau mereka minta, kami bisa memberikan rekomendasi. Sudah ada lima perusahaan yang mendapatkan," lanjutnya.

Sektor ini menjadi sumber penghidupan bagi sejumlah besar rakyat Indonesia. Pasalnya, Indonesia merupakan negara penghasil rotan terbesar di dunia. Sebanyak 85% baku rotan di seluruh dunia dihasilkan oleh Indonesia, sisanya dari Filipina, Vietnam dan negara Asia lainnya. "Daerah penghasil rotan di Indonesia berada di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan Papua,” sebut Airlangga.

Sedangkan, sentra industri hilir rotan di Indonesia tersebar di beberapa kota seperti Cirebon, Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Jepara, Kudus, Semarang, Sukoharjo, dan Yogyakarta. Potensi produksi rotan Indonesia saat ini mencapai 143.120 ton per tahun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×