Reporter: Leni Wandira | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Nilai tukar rupiah yang terus melemah ke level Rp 16.000-an dikhawatirkan membuat harga barang-barang impor melonjak, termasuk bahan baku industri makanan dan minuman serta memicu inflasi yang akhirnya melemahkan daya beli masyarakat.
Namun, Emiten makanan dan minuman, PT Mayora Indah Tbk (MYOR) justru optimistis meraup keuntungan yang lebih besar di pasar ekspor seiring dengan tren pelemahan nilai tukar rupiah.
Salah seorang perwakilan dari MYOR menyakatan bahwa pangsa ekspor MYOR mencapai 40% penjualan.
"Jadi ekspor itu 40% lebih jadi pada saat rupiah atau dolar naik artinya tiba-tiba income kita dapat lebih. jadi pendapatan kita naik sehingga kita mendapatkan keuntungan dari selisih kurs," ungkapnya kepada kontan, Kamis (25/4).
Baca Juga: Rupiah Tembus Rp 16.000 Per Dolar AS, Ini Saham-Saham yang Bakal Cuan!
Adapun, realisasi impor MYOR berdasarkan data Desember 2023 kurang dari 25%. Pasalnya, bahan baku utama yang dibutuhkan perseroan adalah tepung terigu yang tersedia dalam negeri. Kemudian hal yang sama berlaku pada bahan baku gula dan minyak sawit yang banyak menyerap dari produksi lokal.
"Tapi kami pakai terigu dapat dari lokal, Tapi balik lagi yang kami impor itu lebih sedikit daripada yang kami ekspor. Sedangkan material itu kan tidak 100% impor kan. Indonesia punya gula sawit dan kopi. Dan kita tidak konsumsi gandum karena konsumsinya terigu," sambungnya.
Di sisi lain, MYOR tidak dapat menyebutkan persentase keuntungan maupun kerugian atas pelemahan rupiah kali ini, sebab, akan bergantung pada seberapa besar rupiah terdepresiasi dan hasilnya akan keluar pada kuartal 1 2024.
"Kalau pertanyaannya soal laba yang naik itu tergantung kursnya tutup jadi berapa, tidak bisa instan dibilang angka nominalnya. Jadi tunggu laporan keuangan," lanjutnya.
Di sisi lain, MYOR juga memastikan bahwa akan ada kenaikan harga produk akibat pelemahan rupiah yang berdampak pada lonjakan harga bahan baku. Tapi kenaikannnya tidak terlalu signifikan.
"Kenaikan harga pasti ada," jelasnya.
Baca Juga: Daya Beli Masih Lemah, Pengusaha Belum Semringah
Rupiah diperkirakan berpeluang terperosok ke level Rp 16.000 per dolar Amerika Serikat (AS) di akhir tahun ini. Meski begitu, analis memprediksi emiten konsumer masih memiliki potensi untuk tumbuh.
Analis Kiwoom Sekuritas Indonesia Abdul Azis Setyo Wibowo menilai, dampak melemahnya rupiah bisa mengakibatkan kenaikan biaya pada perusahaan makanan terlebih jika bahan bakunya dari impor.
"Potensi meningkatkan beban perusahaan ada mengingat beberapa emiten juga memiliki akun selisih rugi kurs pada beban keuangannya," kata Azis kepada Kontan.co.id, Selasa (24/10).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News