Reporter: Azis Husaini, M. Ghiffari L. Alif P., Tane Hadiyantono, Tantyo Prasetya | Editor: Dupla Kartini
JAKARTA. Media sosial sepertinya menjadi sarana paling ampuh mengangkat atau menjatuhkan seseorang. Kini para pebisnis juga mulai ketar-ketir dengan informasi negatif yang bermunculan di media sosial. Apalagi bila informasi tersebut berkaitan langsung dengan mereka.
Tentu kita masih ingat saat produk Sari Roti mendapat boikot dari sekelompok masyarakat. Ini terkait pernyataan manajemen PT Nippon Indosari Corpindo Tbk (ROTI) yang menyebutkan pihaknya tak terkait aksi pemberian roti gratis saat aksi 212 akhir tahun lalu.
Lalu ada ajakan memboikot produk buku tulis produksi Sinar Mas Group, lantaran pemilik perusahaan ini dituding salah satu sembilan naga alias konglomerat hitam. Terbaru, seruan boikot terhadap Starbucks terkait dukungannya dengan kaum lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT)
Setelah peristiwa tersebut, produk Sari Roti sempat hilang pamor. Bagaimana kinerjanya? Pendapatan perusahaan ini turun 1,4% dari Rp 610,97 miliar pada kuartal I 2016 menjadi Rp 602,45 miliar di kuartal I-2017.
Stephen Orlando, Corporate Communication Nippon Indosari Corpindo, mengklaim, penjualan produk Sari Roti sejauh ini masih baik. Terbukti bisa meraup penjualan hingga Rp 602,45 miliar. "Pencapaian ini di tengah maraknya persaingan industri makanan dewasa ini," katanya kepada KONTAN, Kamis (6/7).
Ia optimistis penjualan bisa meningkat 20% tahun ini. Sedangkan manajemen Sinar Mas Group tidak mau berkomentar terkait aksi boikot tersebut.
Pengamat Pemasaran dari Bina Nusantara Asnan Furinto menyatakan, aksi boikot produk hanyalah reaksi spontan dari masyarakat yang sifatnya hanya sementara. Sudah begitu, pasar Indonesia sangat besar. Tapi, produsen harus waspada terhadap berbagai isu.
"Pasar Indonesia ini memang besar. Tapi jika brand tidak peka, bisa beneran diboikot," terang Asnan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News