kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45924,65   -6,71   -0.72%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kata pengamat, ironi cangkul impor


Senin, 20 Maret 2017 / 08:22 WIB
Kata pengamat, ironi cangkul impor


Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto

JAKARTA. Pengamat Ekonomi Pertanian dan Lingkungan IPB Ricky Avenzora menilai, perlu pembenahan menyeluruh baik dari sisi data maupun kebijakan pertanian yang berkaitan dengan industri, tujuannya demi mendukung pertanian dan industri nasional.

Kasus impor kepala cangkul beberapa waktu lalu menjadi sorotan publik dan jadi bukti industri nasional masih belum terintegrasi dari hulu ke hilir. Baja yang kebutuhan produksi cangkul industri dalam negeri tak tersedia.

Catatan Kementerian Perdagangan, pemerintah  mengimpor kepala cangkul sebanyak 86.160 unit melalui PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI). Jumlah tersebut sebesar 5,7 % dari keseluruhan izin impor yang diberikan Kementerian Perdagangan (Kemendag) sebanyak 1,5 juta unit. Kebutuhan cangkul nasional rata-rata sebesar 10 juta unit per tahun dan belum sepenuhnya dapat dipenuhi oleh industri dalam negeri.

Ricky mengingatkan, sejatinya, Indonesia sudah mumpuni dalam hal memperkuat sektor pertanian. Sehingga jangan selalu tergantung pada impor.

"Namun sayangnya para politisi dan elit pimpinan setiap rezim pemerintah dalam Era Reformasi ini telah semakin sesat pikir dan kehilangan moral dari tahun ke tahun. Pikiran mereka tidak lagi tergolong pendek sejengkal, melainkan hanya pendek seruas jari "kelingking-berkait"," tegas Ricky, yang juga Dosen Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor (IPB), Senin (20/3).  

Fenomena impor cangkul, itu juga bisa memberi sinyal tidak sinkronnya berbagai lembaga kementerian dan perusahaan BUMN dalam mendukung industri dan pertanian nasional.

Untuk itu, kata Ricky, political orientation dan political will dalam membangun pertanian tidak boleh lekang oleh perubahan rezim pemerintah, serta juga tidak boleh lapuk oleh paradigma modernisasi dan teknologi.

Sehingga, setiap petani, baik pada tataran individu maupun komunal,  beserta satuan ruang yang menjadi tempat tercipta dan terjadinya rangkaian dinamika pertanian, harus  menjadi subjek utama yang harus selalu dijaga, diperkokoh dan diperbesar eksistensinya.

"Adapun jenis, kualitas serta kuantitas komoditas pertanian yang dipilih output yang harus direncanakan pencapaiannya untuk menjamin terciptanya kedaulatan pangan bagi seluruh rakyat Indonesia,” paparnya.

Kata dia, ada sejumlah prasyarat agar sektor pertanian bisa mandiri. Pertama, adanya kesadaran yang tinggi akan hakikat pertanian, kedua; adanya kesungguhan  goodwill pemerintah untuk  menegakkan hakikat pertanian, dan juga perlu dibuat  UU Pertanian. 

"Pertanian haruslah bukan hanya dimaknai sebagai sektor pembangunan, bukan pula hanya sebagai komoditas ekonomi, maupun hanya sebagai "cultural history" saja. Secara hakekat, pertanian haruslah dimaknai dan dinyatakan sebagai soko-guru kehidupan," tegas Ricky.


Berita Terkait



TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×