kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45936,50   8,15   0.88%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kayu murah diburu, bisnis kayu jati semakin lesu


Selasa, 27 September 2011 / 06:57 WIB
Kayu murah diburu, bisnis kayu jati semakin lesu


Reporter: Maria Rosita | Editor: Edy Can

JAKARTA. Puluhan gelondongan kayu jati menumpuk di sentra kayu Jalan Pahlawan Revolusi, Klender, Jakarta Timur, baru-baru ini. Pemandangan itu tak cuma terlihat di satu tempat, tetapi hampir di setiap sentra penjualan kayu gelondongan di sana.

Menurut Suyanto, sepinya penjualan sudah berlangsung sejak Agustus lalu. Saban hari Jati Lestari hanya bisa menjual lima kubik kayu jati. Jumlah ini merosot drastis dari biasanya 15 meter kubik (m³) per hari. Padahal, kayu jati yang dijual Jati Lestari saat ini merupakan kayu kelas medium dan rendah yang seharga Rp 11 juta-Rp 20 juta per m³. Harga ini terbilang lebih murah ketimbang kayu kelas atas yang harganya Rp 40 juta-Rp 50 juta per m³. Toh kayu di Jati Lestari tetap susah laku.

Suyanto bercerita, Jati Lestari biasa mendapat pasokan jati dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. "Harga kayu selalu naik karena kalau kualitas kayu jati paling top, rayap aja enggak mau. Tapi karena harga mahal, yang dekat gerbang sudah tiga tahun numpuk," tutur Suyanto.

Menurutnya, saat ini pembeli lebih memilih membeli kayu yang lebih murah. Sebut saja kayu merbau yang dijual seharga Rp 4 juta per m³ dan mahoni yang harganya sekitar Rp 5,5 juta per m³.

Selain itu, pembeli pun cenderung memakai kayu jati yang dicampur dengan bahan lain. Lantaran penjualan kayu jati sepi, usaha terkait kayu jati pun ikut lesu.

Uman, seorang kuli angkut kayu jati bilang, sepinya pemesanan kayu jati berdampak pada fulus yang ia peroleh. Ketika ramai, Uman bisa mengantongi Rp 400.000 dari mengangkut 8 m³ kayu jati ke pembeli. Namun saat ini, Uman bilang, belum tentu bisa mendapat permintaan untuk mengangkut. "Kalau ada yang borong kusen, saya senang," kata Uman.

Pengakuan senada dilontarkan Astho Suroto, Staf Penjualan Perusahaan Kayu Sejati. Perusahaan yang bergerak di bidang pembelahan kayu (sawmill) ini saban hari mengolah lima kubik gelondongan jati menjadi balok ukuran 3x3 cm. Menurut Astho, volume produksi Sejati tahun ini turun 30%-40%.

Untuk bisa bertahan, akhirnya Sejati juga mengolah kayu lain di samping jati. "Pembelahan jati sebatas 20% saja," ujar Astho. Sementara pembelahan kayu mahoni mencapai 70% dan kayu lain 10%.

Sekarang ini, kata Astho, karena harga jatih mahal, banyak konsumen yang mengurangi pemakaian kayu jati. Misalnya, hanya jendela dan pintu saja.

Suwarni, Ketua Umum Indonesia Sawmill and Woodworking Asociation (ISWA) membenarkan tren penurunan penggunaan kayu jati tersebut. Karena itu, walaupun produksi olahan kayu bisa naik 10% dibanding tahun lalu yang mencapai sekitar 5,1 juta m³, namun nilainya lebih rendah.

"Nominalnya tidak sebaik dulu karena penggunaan kayu non-jati makin sering," tutur Suwarni. Namun, dengan demikian, harga produk kayu olahannya, kata Suwarni, menjadi lebih terjangkau.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×