kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menyambut revolusi Industri 4.0, siapkah?


Jumat, 18 Mei 2018 / 20:15 WIB
Menyambut revolusi Industri 4.0, siapkah?
ILUSTRASI. Peluncuran Making Indonesia 4.0 di Jakarta


Reporter: Ika Puspitasari | Editor: Sofyan Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Gaung revolusi Industri 4.0 sering dibahas akhir-akhir ini, yang mana dunia industri memasuki era baru. Tak hanya dibahas di ranah dunia, bahasan mengenai industri generasi ke empat ini juga ramai di bahas di Indonesia. Terlebih sejak Presiden Joko Widodo meresmikan road map dengan istilah Making Indonesia 4.0.

Mengenai hal ini, presiden mengharapkan sektor industri 4.0 ini dapat menyediakan lapangan pekerjaan lebih banyak lagi, serta investasi baru berbasis teknologi. Melalui Indonesia Business Ecosystem (Indibest Forum), beberapa para stake holder industri memberi ruang untuk mendiskusikan bagaimana kesiapan dari para pelaku industri menghadari revolusi Industri 4.0.

Dalam acara ini, Dosen Senior Institut Teknologi Bandung dan Tokoh Teknologi di Indonesia Richard Mengko mengatakan, sebenarnya masyarakat Indonesia sudah mampu dalam menggunakan teknologi, akan tetapi masyarakat Indonesia belum dapat menggunakan teknologi ini dalam urusan produktivitas yang dapat mengembangkan ekonomi di Indonesia.

Padahal, kata Richard, revolusi Industri 4.0 ini akan membawa pelaku bisnis agar lebih untung dalam meraih pundi pendapatan. Pasalnya, mereka tak perlu membayar tenaga kerja. Sehingga biaya pelaku industri akan tak terlalu banyak. Ia mencontohkan bandara Singapura yang sistemnya sudah menggunakan mesin. “Nantinya, hanya hotel berbintang lima yang masih menggunakan manusia sebagai tenaga kerja,” katanya, Jumat (17/5).

Guna mencapai keberhasilan berbisnis di era digital, Richard menjelaskan memang perlu adanya ekosistem yang terbentuk secara baik. Tentu ekosistem ini melibatkan banyak pelaku perusahaan, misalnya kerja sama pelaku usaha dengan perbankan. Menurutnya, sesama pelaku bisnis harus melakukan kerja sama dan bersinergi guna meningkatkan bisnis.

Oleh karena itu, sambung Richard perlu adanya komunikasi baik yang dijalin oleh pelaku bisnis, dengan kolaborasi yang baik tersebut, maka akan tercapai ekosistem yang kuat kuat dan saling menguntungkan di era digital ini.

Richard menyayangkan, masyarakat Indonesia yang masih menggunakan teknologi sebagai alat hiburan semata. Padahal, mayarakat Indonesia dapat menggunakan teknologi sebagai alat untuk berbisnis.

Hal yang tak kalah penting adalah merangkul banyak pihak. Beberapa hal yang perlu dilakukan kata Ricard, dengan mengikut sertakan para pembisnis pemula. “Kita rangkul tenaga-tenaga kerja seperti tukang cabut rumput misalnya, kita beri layanan cabut rumput via online, sama seperti layanan di Gojek, jadi semuanya menggunakan teknologi,” ujarnya.

Dengan merangkul pembisnis yang baru memulai usahanya, dapat menguntungkan banyak pihak pelauku bisnis. Seperti memberi pelatihan pada ibu rumah tangga untuk memproduksi barang-barang yang dapat dipasarkan, baru kemudian nanti dipasarkan melalui website.

Sementara itu, Peneliti RISE Reseacrh, Caroline Mangowal menilai Indonesia menjadi salah satu target bagi para pemain industri dunia. Menurutnya, banyak pemain bisnis yang berebut masuk dalam pasar Indonesia. Oleh karena itu, harus ada regulator yang dapat memproteksi serta menjaga keseimbangan di berbagai parameter.

Menurut Caroline, inklusi finansial yang masih relatif rendah di Indonesia menggambarkan besarnya potensi yang belum tergali. “Sementara layanan yang terbatas dan pemanfaatan layanan yang adda belum maksimal,” pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×