kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45921,71   -13,81   -1.48%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Petambak Aruna masuki masa panen


Sabtu, 01 Oktober 2011 / 14:50 WIB
Petambak Aruna masuki masa panen
ILUSTRASI. Logo Otoritas Jasa Keuangan (OJK). KONTAN/Cheppy A. Muchlis


Reporter: Bernadette Christina Munthe | Editor: Rizki Caturini

JAKARTA. Walaupun PT Aruna Wijaya Sakti (AWS) belum juga mengalirkan kembali aliran listrik kepada para petambak udang yang diputus sejak Mei lalu, petambak udang yang dulunya mitra AWS tetap bisa berproduksi, bahkan kini mulai panen.

Y Joko Budi Suprapto, Wakil Koordinator Infra Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu (P3UW) Bumi Dipasena mengatakan, petambak bisa panen lantaran tak semua lahan AWS lumpuh total. Ada pula petambak yang membudidayakan udang, tetapi dengan metode tradisional, tanpa listrik.

Bahkan, kata Joko, dari 7.512 petambak anggota P3UW, sekitar 5.000 di antaranya sudah bisa kembali berproduksi. Sisanya masih terkendala ketiadaan modal.

Hasil udang yang dipanen petani memang tak sebagus ketika masih bekerjasama dengan PT Central Proteinaprima Tbk (CP Prima), induk AWS. Soalnya, dengan metode tradisional, petambak hanya menebar 10.000-15.000 benur udang vaname (Litopenaues vannamei) per petak, bukan 110.000 benur.

Masing-masing petambak memiliki dua petak tambak berukuran masing-masing 50x40 meter. "Dari tebaran itu, kami bisa panen sekitar 190 kg udang," kata Joko kepada KONTAN, Kamis (29/9).

Sebenarnya meski dengan cara tradisional, petambak bisa menebar sampai 30.000 benur. Tetapi karena modal, mereka tidak bisa menebar sebanyak itu.

Pun begitu, mereka sudah cukup puas karena harga udang sedang menanjak. Saat ini udang vaname ukuran 70 ekor per kilogram (kg) dijual Rp 45.000 per kg. Harga ini lebih tinggi ketimbang harga pembelian dalam skema kerjasama dengan CP Prima yang membeli harga Rp 34.000 per kg untuk udang ukuran 60 ekor per kg.

Dengan hasil produksi 190 kg per petak, petambak dapat mengantongi pendapatan Rp 8,55 juta per petak. Adapun modal mereka berkisar Rp 3 juta-Rp 4 juta per petak. Jumlah ini jauh lebih kecil ketimbang saat petambak menerapkan budidaya modern.

Meski begitu, menurut Joko, para peternak tetap puas. Dulu, sekali panen bisa mendapat Rp 78 juta tapi sisa hasil usaha Rp 35 juta-Rp 40 juta. "Sekarang panennya lebih cepat, 2,5-3 bulan bisa panen, tidak sampai 4 bulan," kata Joko. Para petambak berharap bantuan pemerintah berupa infrastruktur listrik bisa segera terealisir sehingga produksi bisa meningkat.

Menanggapi hal ini, Dirjen Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanana (KKP) Ketut Sugama mengatakan, listrik baru bisa masuk pertengahan November. "Dana benur Rp 1,5 miliar juga mungkin akan keluar awal Oktober," kata Ketut.

Target terpenuhi

Sebagai tambak udang terbesar di dunia, lumpuhnya AWS memang sempat menimbulkan kekhawatiran akan menurunkan produksi udang nasional. Namun, hal ini dibantah Ketut. Ia optimistis produksi udang nasional tahun ini bisa mencapai 410.000 ton meski tambak AWS belum beroperasi maksimal.

Salah satu alasannya ialah harga udang yang melonjak, hingga Rp 50.000-Rp 55.000 per kg. Ini membuat para petambak semangat membudidayakan udang. Peningkatan yang signifikan ini, menurut Ketut, terjadi di wilayah Jawa Barat dan Jawa Timur.

KKP dan Shrimp Club Indonesia (SCI) pernah menghitung, produksi tahun 2011 bisa mencapai 412.000 ton. Sampai akhir Agustus produksi sudah 260.100 ton. Padahal periode sama tahun lalu 196.000 ton. "Memang luar biasa" tandas Ketut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×