kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Produsen listrik swasta sebut visi energi baru-terbarukan ESDM dan PLN lemah


Jumat, 25 Mei 2018 / 22:28 WIB
Produsen listrik swasta sebut visi energi baru-terbarukan ESDM dan PLN lemah
ILUSTRASI. Bandara Ahmad Yani Semarang


Reporter: Febrina Ratna Iskana | Editor: Sanny Cicilia

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tarik-ulur soal implementasi Domestik Market Obligation batubara terus berlanjut. Terakhir, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menggandeng PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dan perusahaan batu bara untuk membentuk tim khusus guna mengawal pasokan batu bara bagi kebutuhan dalam negeri. Pengusaha menilai, sejak awal DMO memang sudah bermasalah.

“Ini kebijakan reaktif. Karena tiba-tiba harga minyak naik juga batubara membaik harganya di pasaran, dari jauh hari tidak ada antisipasi. Panik,” ujar Juru Bicara Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) Rizal Calvary dalam siaran pers pada Jumat (25/5).

Rizal mengatakan, kebijakan ini merupakan bukti bahwa Kementerian ESDM dan PLN tidak punya visi yang kuat membangun energi efisien dan ramah lingkungan atau Energi Baru Terbarukan (EBT).

“Coba kalau sejak dulu, sejak harga energi primer masih murah, EBT sudah dibangun. Situasinya tidak akan ada kebijakan situasional semacam sekarang. Begitu energi primer naik, EBT yang murah dan tidak terpengaruh naik turun harga minyak dan batubara, kita sudah terinstal ke sistem jaringan distribusi,” ucap dia.

Sayangnya, ujar Rizal, selama empat tahun ini, tidak ada kemajuan berarti soal EBT. Rasio EBT atas energi pembangkit lainnya masih sangat rendah. “Yang terjadi malah ada 46 EBT sampai sekarang kesulitan mencari sumber pendanaan. Sebab dukungan kepada pengusaha sangat rendah. Padahal mereka terlanjur investasi. Biaya operasional ada yang sudah setengah jalan,” ucap dia.

Sebagaimana diketahui, sebagian besar proyek energi baru terbarukan dalam perjanjian jual beli listrik (power purchase agreement/PPA) yang diteken pada 2017, hingga kini belum direalisasikan juga. Salah satu kendalanya adalah pendanaan.

Berdasarkan data PLN sampai dengan triwulan pertama tahun ini, 46 PPA yang masih dalam proses persiapan penuntasan pendanaan (financial close) antara lain terdiri dari 38 pembangkit listrik tenaga minihidro (PLTMH), lima PLT bioenergi, dua pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), dan satu pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Tercatat baru tiga pembangkit yang sudah mencapai commercial operation date (COD). Pembangkit tersebut terdiri dari PLTMH, PLT Bioenergi, dan PLTA.

Kebijakan PLN ini diperparah dengan hadirnya pembangkit kapal turki (MPP) di laut. “Kapal ini jelas-jelas ‘minumnya’ energi fosil, sudah ada audit Badan Pemeriksa Keuangan akan potensi ruginya ke depan. Tapi PLN bilang karena belum ada gas, sementara pakai minyak. Sebenarnya perencanaannya dulu bagaimana?” ucap dia.

Menurunya, kalau kehadiran Kapal Turki hanya untuk mengatasi defisit listrik di suatu wilayah, kenapa kehadiran Kapal Turki justru ‘menggeser’ pembangkit yang sudah ada di wilayah tersebut. “Padahal kita tahu Kapal Turki enggak efisien,” ucap dia.
 Sebab itu, pihaknya meminta agar PLN dan Kementerian ESDM lebih transparan soal kehadiran dan operasional Kapal Turki. “Publik berhak tahu subsidi dari APBN itu larinya ke mana,” ungkap dia.

Trend dunia

Rizal mengatakan, terdapat banyak kejanggalan dan kebijakan energi listrik. Pasalnya ditengah tren dunia yang memperbesar ketersediaan EBT, Indonesia justru tak ada kemajuan berarti. “Yang ada malah proyeknya mandeg bahkan ada yang mangkrak tahun 2017. Yang boros-boros macam Kapal Turki kok lancar,” ucap dia.

Rizal memaparkan, pada 2016 saja energi terbarukan memasok sekitar 24,5% dari total kebutuhan energi di dunia dengan rincian 16,6% dari hydro, 4% angin, bio power 2%, solar PV 1,5%. Dia mengatakan, kapasitas pembangkit EBT meningkat sekitar 161 Gigawatt, angka ini merupakan peningkatan tahunan terbesar sepanjang sejarah. Tambahan total kapasitas pembangkit meningkat sekitar 9% dibandingkan 2015, menjadi 2,017 Gigawatt. “Itu dua tahun lalu, Tahun ini pasti sudah lebih besar lagi,” ucap dia.

Tiongkok, negara dengan instalasi hydro, angin, dan solar PV terbanyak disusul oleh Amerika Serikat, Jerman, Jepang, India, dan Italia. “India sedang tancap gas, sedangkan kita masih ribut soal DMO,” papar dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×