kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Sanksi denda finansial bagi pengusaha tambang yang tak bangun smelter menuai kritik


Rabu, 16 Mei 2018 / 10:03 WIB
Sanksi denda finansial bagi pengusaha tambang yang tak bangun smelter menuai kritik
ILUSTRASI. Smelter pabrik baja


Reporter: Pratama Guitarra | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kebijakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menerapkan sanksi finansial sebanyak 20% ke eksportir mineral mentah dan konsentrat yang tidak serius membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) menuai kritik.

Salah satunya datang dari Ketua Indonesian Mining Institue (IMI) Irwandy Arif. Ia mempertanyakan konsistensi pemerintah, yakni penerapan sanksi finansial tersebut di tengah jalan. Kata dia, seharusnya pemerintah tegas dengan aturan di awal pembangunan smelter. "Apakah aturannya sama dengan aturan pada saat mereka membangun? Kalau sama artinya konsisten, tapi kalau aturan baru mungkin bermasalah," terangnya kepada Kontan.co.id, Selasa (16/5).

Menurut Irwandy, pemerintah dan perusahaan perlu mengacu pada perjanjian di awal. Yakni pada saat perusahaan berkomitmen membangun smelter.

Sanksi 20% itu tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 25 tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam pasal 55 ayat 8 b beleid yang diundangkan 3 Mei 2018 itu menyebutkan, pemerintah akan menjatuhkan sanksi finansial berupa denda 20% dari total nilai mineral yang telah diekspor apabila pembangunan smelter tidak mencapai target per enam bulan.

Direktur Eksekutif Centre for Indonesian Resources Strategic Studies (Ciruss) Budi Santoso menilai, sanksi finansial yang ditetapkan itu belum tentu bisa mempercepat program hilirisasi. Sejak awal, program hilirisasi mineral sudah sulit untuk diwujudkan.

Pasalnya, banyak kesulitan yang dialami oleh perusahaan. "Kesulitan dari sisi finansial, teknikal dan kondisi lain yang dialami oleh setiap pemegang izin berbeda-beda," katanya kepada Kontan.co.id, Selasa (16/5).

Budi berpendapat, pemerintah tidak bisa menutup mata dengan membuat aturan yang ketat begitu saja. Apalagi jangka waktu ekspor mineral mentah dan konsentrat selama lima tahun sejak tahun 2017 tidak bisa disamaratakan. "Lebih baik pemerintah memberikan selama waktu lima tahun untuk mewujudkan smelter sejak izin ekspor dikeluarkan daripada semuanya dipatok di Januari 2022," tukasnya.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 2017, pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) masih bisa mengekspor mineral yang belum dimurnikan selama lima tahun dengan syarat membangun smelter. Padahal progres pembangunan smelter mereka masih belum signifikan.

Direktur Utama PT Aneka Tambang Tbk (Antam) Arie Prabowo Ariotedjo menganggap kebijakan sanksi 20% merupakan kebijakan yang tepat. Supaya, realisasi pembangunan smelter bisa sesuai dengan target para eksportir pertambangan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×