kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45893,43   -4,59   -0.51%
  • EMAS1.308.000 -0,76%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Bangun smelter lambat, pemerintah siap semprit


Senin, 14 Mei 2018 / 11:50 WIB
Bangun smelter lambat, pemerintah siap semprit


Reporter: Pratama Guitarra | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akhirnya punya nyali menerapkan sanksi finansial bagi para perusahaan pertambangan yang telah mendapatkan rekomendasi ekspor mineral mentah dan konsentrat. Sanksi tersebut akan dipakai apabila pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) tidak sesuai dengan target dari rencana kemajuan fisik yang dievaluasi per enam bulan sekali.

Sanksi finansial itu, tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 25/2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara yang diundangkan pada 3 Mei 2018. Dalam pasal 55 ayat 8, sanksi tersebut berupa denda 20% dari nilai kumulatif penjualan mineral ke luar negeri.

Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengatakan, denda tersebut melengkapi sanksi sebelumnya berupa pencabutan rekomendasi ekspor. Keduanya bisa diterapkan setelah ada hasil verifikasi pembangunan smelter dari tim verifikator independen yang dilakukan setiap enam bulan.

Adapun kemajuan fisik pembangunan smelter yang harus dicapai perusahaan minimal 90% dari target per periode evaluasi. "Kalau tidak tercapai berarti (rekomendasi) dicabut dan bayar denda finansial 20%. Tinggal kalikan saja dari sales yang sudah dia lakukan," katanya kepada Kontan.co.id, Jumat (11/5).

Menurut dia, kebijakan tersebut untuk memastikan perusahaan yang mengekspor mineral mentah atau konsentrat serius dalam membangun smelter. Sehingga, perusahaan yang mendapatkan ekspor mineral mentah tidak hanya menikmati insentif, tanpa berusaha memberikan nilai tambah melalui pembangunan smelter."Prinsipnya kegagalan membangun itu harus kena denda, karena dia hanya mengambil keuntungan ekspor. Berarti dia main-main," ungkapnya.

Dalam beleid itu juga menyebutkan, bagi perusahaan yang terkena denda, pembayaran tersebut disetorkan ke kas negara melalui bank persepsi. Penyetoran itu dalam jangka waktu paling lambat satu bulan setelah sanksi dijatuhkan.

Apabila tidak dilakukan, maka akan dikenakan sanksi administratif tambahan berupa penghentian sementara atau sebagian seluruh kegiatan operasinya paling lama 60 hari. Jika sampai masa penghentian operasi sementara denda tersebut belum juga dibayarkan, maka izin usahanya akan dicabut.

Data Kementerian ESDM per Maret 2018 ini menyebutkan progres pembangunan smelter PT Ceria Nugraha Indotama pada Desember 2017 masih 0,03% dan di bulan Maret 2018 baru 0,529%. Padahal Ceria Nugraha sudah mendapatkan rekomendasi ekspor sekitar 2,3 juta ton dan sudah terealisasi sebanyak 1,5 juta ton.

Selain itu pembangunan smelter PT Fajar Bakti Lintas Nusantara sejak Desember lalu masih 0% hingga saat ini. Padahal Fajar Bakti sudah mendapatkan rekomendasi ekspor 4 juta ton dan realisainya 933.703 ton.

Satu lagi adalah PT Genba Multi Mineral yang pada Januari 2018 ini baru mendapatkan rekomendasi ekspor sebanyak 1,89 juta ton. Namun realisasi pembangunan smelter juga masih nihil.

Ketua Indonesian Mining Institue (IMI) Irwandy Arif mengatakan, konsistensi pemerintah perlu dipertanyakan dalam kebijakan tersebut. Pasalnya, penerapan sanksi finansial tersebut diterapkan di tengah jalan. Seharusnya, pemerintah tegas dengan aturan di awal pembangunan smelter. "Apakah aturannya sama dengan saat mereka membangun? Kalau sama artinya konsisten, tapi kalau aturan baru mungkin bermasalah," tuturnya kepada Kontan.co.id, Minggu (13/5).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×