kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45931,36   3,72   0.40%
  • EMAS1.320.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Tren produksi tumbuh, NTP petani masih rendah


Rabu, 22 Maret 2017 / 21:19 WIB
Tren produksi tumbuh, NTP petani masih rendah


Reporter: Elisabeth Adventa | Editor: Dupla Kartini

JAKARTA. Tren peningkatan produksi sejumlah komoditas pertanian tahun 2014-2016 tidak sebanding dengan peningkatan kesejahteraan petani.

Idealnya, peningkatan produksi mampu mendongkrak kesejahteraan petani, yang ditunjukkan lewat data Nilai Tukar Petani (NTP). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, NTP nasional pada Februari 2017 sebesar 100,33 atau turun 0,58% dibandingkan Januari 2017.

Pada Januari lalu, NTP juga turun 0,56% dibandingkan Desember 2016. Penurunan ini disebabkan oleh indeks harga yang diterima petani turun 0,24%. Sementara indeks harga yang harus dibayar petani naik 0,34%.

Wakil ketua Komisi IV DPR, Herman Khaeron menyatakan, hakikat utama pembangunan adalah untuk kesejahteraan rakyat. Sangat kontra produktif jika Produk Domestik Bruto (PDB) dan produktivitas meningkat, namun NTP menurun. “Fokus pembangunan harus diubah, tidak hanya melulu meningkatkan produksi, tapi juga kesejahteraan petani," katanya, akhir pekan lalu.

Di sisi lain, meski produksi diklaim meningkat, harga komoditas pangan di tingkat konsumen tetap. Hal ini disebabkan oleh panjangnya mata rantai distribusi. Sedangkan petani hanya mendapat sedikit.

“Mestinya jika produktivitas meningkat, ada nilai tambahnya untuk petani saat panen. Petani tetap bisa untung, NTP meningkat,” kata Herman. Namun, hal ini malah tidak terjadi. Ia menduga bahwa saat ini ada salah satu data NTP atau data produksi yang keliru.

Ekonom senior dari Universitas Indonesia (UI), Faisal Basri mengatakan, keuntungan petani saat ini relatif kecil. Dapat dilihat dari disparitas harga yang jauh antara produsen dan konsumen.

Menurut Faisal, tingginya disparitas harga ini disebabkan harga pangan yang tak terkendali. Akar persoalan ini, berujung pada data yang tidak akurat. “Saat ini data yang paling tepat adalah harga. Faktanya, kita setiap hari disajikan berita selundupan produk pertanian. Tidak mungkin daging celeng bisa masuk ke Jakarta, kalau harga daging rendah,” ungkap Faisal.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×