Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Tendi Mahadi
Dharma bilang, persoalan ini masih dalam tahap diskusi dan perlu kerja sama dari semua pihak untuk mencari solusinya. Bahkan saat ini pihaknya telah bekerja sama dengan beberapa kementerian untuk mencari solusi yang terbaik.
Tantangan ketiga adalah emisi karbon yang perlu dihitung kembali. Dharma mengatakan, saat ini sudah ada teknologi carbon capture yang memerlukan investasi yang sangat mahal. Jika dipasang di Indonesia, khawatir tidak ekonomis. "Ujung-ujungnya, DME ini buat rakyat harganya harus sama dengan LPG," kata Dharma.
Rizal Kasli, Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) menambahkan hilirisasi batubara dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan masuknya investasi, penyerapan tenaga kerja, peningkatan kandungan dalam negeri dan nilai tambah.
"Percepatan pengembangan industri hilirisasi sesuai dengan road map yang dibuat oleh Ditjen Minerba harus dapat direalisasikan dan dikawal dengan ketat. Penugasan dapat dilakukan terutama kepada BUMN sebagai penggerak industri hilirisasi," ujarnya.
Rizal menegaskan, pemerintah harus dapat menjamin serapan produk dari hilirisasi batubara. Jaminan off-taker produksi hilirisasi ini dibutuhkan supaya proyek bisa memenuhi kriteria investasi.
Di sisi lain, dibutuhkan juga dukungan pemerintah dengan insentif fiskal dan non-fiskal untuk hilirisasi batubara agar proyek visible secara ekonomi termasuk kebijakan yang mendukung tumbuhnya industri dan kepastian berusaha. "Untuk menghindari natural resources curse, seyogyanya pemerintah daerah dapat mengembangkan model pendanaan yang berkelanjutan salah satunya dengan model Sovereign Wealth Fund (SWF)," jelasnya.
Selanjutnya: Simak strategi Samindo Resources (MYOH) di tengah penguatan harga batubara
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News