kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.499.000   -40.000   -2,60%
  • USD/IDR 15.935   -60,00   -0,38%
  • IDX 7.246   -68,22   -0,93%
  • KOMPAS100 1.110   -11,46   -1,02%
  • LQ45 880   -11,76   -1,32%
  • ISSI 222   -0,92   -0,41%
  • IDX30 452   -6,77   -1,48%
  • IDXHIDIV20 545   -7,80   -1,41%
  • IDX80 127   -1,32   -1,03%
  • IDXV30 136   -1,06   -0,77%
  • IDXQ30 150   -2,29   -1,50%

Ada Disparitas Harga Energi, Pemerintah Diminta Tak Buru-Buru Ubah Skema Subsidi


Minggu, 17 April 2022 / 17:21 WIB
Ada Disparitas Harga Energi, Pemerintah Diminta Tak Buru-Buru Ubah Skema Subsidi
ILUSTRASI. Pemerintah diminta tak buru-buru mengubah skema subsidi energi.


Reporter: Filemon Agung | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Lonjakan harga minyak dunia berimbas pada disparitas harga energi subsidi dan nonsubsidi. Selisih harga yang cukup tinggi antara harga subsidi dan nonsubsidi pun mengerek konsumsi komoditas energi nonsubsidi.

Direktur Center of Economic and Law Studie (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, disparitas harga yang terjadi memang menimbulkan masalah baru. Sebagai contoh untuk komoditas LPG 3 kg konsumsinya juga mengalami lonjakan. Tidak hanya dikonsumsi masyarakat kecil, LPG subsidi juga memang menjadi hak dari pelaku UMKM.

"Jangan sampai perubahan skema subsidi di waktu yang salah akan sebabkan tekanan biaya produksi pada UMKM," terang Bhima kepada Kontan.co.id, Minggu (17/4).

Bhima melanjutkan, pemerintah perlu mengoptimalkan pendataan jika ingin menerapkan subsidi tertutup.

Baca Juga: Harga Minyak Dunia Melambung, Pemerintah Bersiap Naikkan Harga BBM Subsidi

Adapun, disparitas harga juga menjadi tantangan untuk kelompok masyarakat kelas bawah. Selisih harga antara LPG subsidi dan nonsubsidi secara kasar mencapai Rp 117.000. Hal ini membuat masyarakat kelas menengah bermigrasi ke komoditas subsidi.

"Kurang pas untuk lakukan skema subsidi tertutup disaat disparitas harga terlalu jauh," kata Bhima.

Bhima menilai, pada kondisi saat ini maka pemerintah sebaiknya meningkatkan alokasi belanja subsidi energi. Menurutnya, APBN saat ini masih mencukupi untuk direalokasikan ke subsidi energi.

Kondisi serupa pun terjadi untuk komoditas bahan bakar minyak (BBM) dimana BBM subsidi mengalami lonjakan konsumsi.

Bhima mengungkapkan, secara khusus pemerintah perlu memfokuskan distribusi BBM Solar bersubsidi khususnya untuk wilayah dekat pertambangan dan perkebunan. "Kebocoran solar subsidi sudah sangat gawat dan berdampak pada melebarnya subsidi energi," kata Bhima.

Bhima pun menilai untuk saat ini pemerintah juga sebaiknya menunda rencana penyesuaian tarif energi termasuk sektor kelistrikan."Belum pas untuk dilepas kebijakan saat ini. Jadi (sebaiknya) ditambah dana kompensasi ke PLN," ujar Bhima.

Lonjakan Konsumsi Energi

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif sebelumnya mengungkapkan rencana penambahan kuota jenis BBM tertentu (JBT) minyak solar dan jenis BBM khusus penugasan (JBKP) Pertalite.

"Selain itu juga kami mengusulkan perubahan kuota jenis BBM tertentu Solar, minyak tanah dan jenis BBM khusus penugasan Pertalite," kata Arifin dalam Rapat Kerja bersama Komisi VII DPR RI, Rabu (13/4).

Lonjakan konsumsi jadi salah satu alasan pemerintah memutuskan penambahan kuota ini. Selain penambahan kuota, pemerintah bersiap melakukan penyesuaian tarif baik untuk BBM Subsidi, LPG 3kg hingga penerapan tarif adjustment disektor kelistrikan.

Dalam riset Kontan.co.id, konsumsi energi memang umumnya mengalami peningkatan tiap tahunnya. Penurunan rata-rata terjadi pada tahun 2020 dan 2021 saat ekonomi masih menghadapi tantangan pandemi covid-19.

Untuk Pertalite yang baru-baru ini ditetapkan sebagai JBKP menggantikan premium misalnya, konsumsi pada tahun 2017 mencapai 14,5 juta kl, kemudian meningkat menjadi 17,7 juta kl pada 2018. Jumlah ini kemudian meningkat menjadi 19,4 juta kl di tahun 2019. Konsumsi sempat turun menjadi 18,1 juta kl pada 2020 lalu sebelum kembali meningkat menjadi 23 juta kl pada 2021.

Untuk tahun ini, pemerintah berencana menambah kuota Pertalite sebesar 5,45 juta kl sehingga total kuota tahun ini mencapai 28,50 juta kl. Per 2 April 2022 konsumsi Pertalite mencapai 6,48 juta kl atau setara 22,73% dari total rencana kuota tahun ini.

Sementara itu, konsumsi JBT untuk tahun 2017 mencapai 15,04 juta kl, kemudian meningkat menjadi 16,12 juta kl ditahun 2018. Jumlah ini meningkat tipis menjadi 16,74 juta kl pada 2019. Selanjutnya konsumsi turun menjadi 14,48 juta kl di tahun 2020 dan kembali meningkat menjadi 16,08 juta kl di tahun 2021.

Kementerian ESDM mengusulkan tambahan kuota sebesar 2,29 juta kl untuk JBT Solar ditahun ini. Dengan demikian, total kuota bakal mencapai 17,39 juta kl. Per 2 April 2022 konsumsi JBT Solar mencapai 4,08 juta kl atau setara 23,46% dari total rencana kuota.

Lonjakan konsumsi juga terjadi untuk LPG 3 kg. Pada tahun 2017 tercatat sebesar 6,3 juta metrik ton (MT). Konsumsi pada 2018 mencapai 6,55 juta MT, kemudian meningkat menjadi 6,84 juta MT d itahun 2019. Konsumsi pada tahun 2020 kembali meningkat menjadi 7,14 juta MT. Sementara itu, konsumsi untuk tahun 2021 lalu mencapai 7,46 juta MT.

Pada tahun ini, Kementerian ESDM mengalokasikan kuota LPG 3 kg sebesar 8 juta MT. Per 2 April 2022, konsumsi LPG 3 kg  mencapai 1,87 juta MT.

Baca Juga: Subsidi Energi Makin Tinggi, Peneliti BRIN: Pemerintah Mesti Kendalikan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Kiat Cepat Baca Laporan Keuangan Untuk Penentuan Strategi dan Penetapan Target KPI Banking and Credit Analysis

[X]
×