Reporter: Muhammad Julian | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) akan kembali mengirimi Kementerian Keuangan (Kemenkeu) surat berisi masukan dalam rangka menindaklanjuti pembatasan pemasangan kapasitas pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap maksimum 15% dari kapasitas daya terpasang oleh PLN.
Ketua Umum AESI Fabby Tumiwa mengatakan, sebelumnya AESI sudah mengirimi Kemenkeu surat berisi masukan agar pemerintah memperhitungkan beban yang timbul dari penggunaan PLTS atap pada Agustus 2022 lalu dalam memberi kompensasi kepada PLN.
Sebab, AESI menduga bahwa beban-beban biaya interkoneksi, menjaga keandalan pasokan listrik, dan lain-lain yang harus PLN tanggung dalam menampung listrik dari pengguna PLTS atap di tengah adanya persoalan kelebihan listrik atau overcapacity menjadi alasan di balik tindakan pembatasan pemasangan PLTS atap oleh PLN.
Hanya saja, surat tersebut belum berbalas hingga selang beberapa bulan setelah dikirimkan.
“Kami mau menyurati (Kemenkeu) lagi kalau sampai akhir tahun ini enggak beres ya. Kalau misalnya enggak (mendapat respon), mungkin ada anggota-anggota AESI yang mau menggugat,” tutur Fabby kepada Kontan.co.id, Selasa (6/12).
Baca Juga: Sempat Turun, Permintaan PLTS Atap Mulai Menanjak Lagi
Menurut laporan yang diterima oleh AESI, pembatasan pemasangan PLTS atap oleh pihak PLN sudah terjadi sejak awal tahun 2022. Tindakan tersebut telah berdampak pada pembatalan ataupun penundaan sejumlah proyek pemasangan PLTS atap pada tahun 2022. Sebab, kata Fabby, pembatasan pemasangan PLTS atap bisa membuat proyek menjadi tidak ekonomis
Berdasarkan laporan yang diterima AESI, sekitar 60% proyek pemasangan PLTS atap pada segmen pengguna industri batal atau ditunda seturut adanya pembatasan ini.
Sementara itu, persentase proyek pemasangan PLTS atap yang batal atau ditunda pada segmen pengguna rumah tangga di tahun 2022 porsinya lebih besar menurut estimasi AESI, yakni mencapai hampir 90% dari total rencana pemasangan tahun 2022.
“Pelanggan rumah tangga yang tadinya misal mau masang 2-3 kwp kalau kemudian hanya diizinkan di bawah 1 kwp kan jadi enggak ekonomis,” tutur Fabby.
Menurut Fabby, pembatasan pemasangan PLTS atap bisa menghambat pencapain target bauran energi terbarukan 23% dalam bauran energi primer tahun 2025.
Dalam hitung-hitungan Fabby, masih terdapat ‘pekerjaan rumah’ untuk mengisi gap 3-4 gigawatt kapasitas pembangkit EBT tambahan untuk merealisasikan target bauran energi terbarukan 23% dalam bauran energi primer.
Gap tersebut, menurut Fabby, paling mudah dikejar lewat pemasangan PLTS lantaran waktu instalasinya yang relatif singkat di sisa 3 tahun mendatang.
“Yang bisa dibangun cepat di dalam waktu itu (2023-2025) hanya PLTS atap, jadi langkah PLN membatasi PLTS atap itu berdampak pada target pemerintah mencapai bauran 23% tahun 2025, dan kalau ini terjadi maka sebaranya itu juga akan mengganggu target pencapaian penurunan emisi gas rumah kaca karena dalam target NDC itu sudah termasuk asumsi bawah 23% bauran energi terbarukan itu tercapai,” imbuh Fabby.
Harapan Fabby, opsi pemberian kompensasi oleh pemerintah kepada PLN atas biaya-biaya yang timbul dari pemasangan/penggunaan PLTS atap bisa menyetop tindakan pembatasan yang dilakukan oleh PLN.
“Jadi tolong dalam pembahasan subsidi dan kompensasi listrik untuk 2023 itu (perhitungan biaya akibat pemasangan/penggunaan PLTS atap) dimasukkan. Kalau dengan itu, diharapkan PLN enggak membatasi,” kata Fabby.
Baca Juga: Proyek EBT Menjanjikan, Nusantara Infrastructure (META) Gali Bisnis Setrum Hijau
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News