Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktur Jenderal (Dirjen) Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Andy N. Sommeng mengklarifikasi soal besaran penundaan proyek ketenagalistrikan. Dari semula 15.200 Megawatt (MW) atau 15,2 Gigawatt (GW), menjadi 4,64 GW.
Andy mengklaim, penundaan Commercial Operation Date (COD) tersebut bukan akibat langsung dari defisit transaksi berjalan atau persoalan nilai tukar rupiah. Melainkan sudah tertera dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2018-2027.
"Kita mempertimbangkan growth (ekonomi), yang tak sesuai dengan target awal. Kami sesuaikan dengan kebutuhan pertumbuhan listrik, sudah ada di RUPTL," ujar Andy, di Kementerian ESDM pada Senin (24/9).
Adapun angka sebesar 15,2 GW merupakan bagian dari proyek dari 35 GW yang belum Financial Close (FC). Tapi dengan sejumlah pertimbangan, Andy menjelaskan, ada 10,56 GW yang tidak bisa ditunda. Sehingga, hanya ada sekitar 4,64 GW yang dapat ditunda masa COD-nya hingga tahun 2024. Itu pun masih bisa dikaji kembali.
Menanggapi hal ini, Ketua Asosiasi Produsen Lsitrik Swasta Indonesia (APLSI) Arthur Simatupang mengaku masih mengkaji revisi besaran penundaan proyek kelistrikan ini. "Kami masih me-review," jawab Arthur saat dihubungi Kontan.co.id, Senin (24/9).
Yang jelas, menurut Juru Bicara APLSI Rizal Calvary, pihak asosiasi dan IPP secara umum membutuhkan kepastian dan masih menunggu kejelasan. Yakni perihal proyek mana-mana saja yang tidak ditunda, dan yang mengalami penundaan. "Sampai sekarang kita belum dapat list nya yang mana-mana saja. Kami menunggu" ungkap Rizal.
Rizal bilang, soal penundaan, pergeseran atau apa pun namanya, pihak swasta tetap butuh kepastian. Sebab jika terlalu lama tanpa adanya data rinci yang pasti, Rizal khawatir itu bisa membuat investor was-was.
"Artinya jangan sampai juga ini menimbulkan keresahan kalau terlalu lama kita nggak tahu mana-mana saja. Itu kan yang harus kita hindari," imbuh Rizal.
Ada tiga harapan Rizal dalam menanggapi isu ini. Yakni, tidak ada penundaan untuk Energi Baru dan Terbarukan (EBT), penundaan hanya untuk yang belum FC, serta adanya kepastian bahwa itu adalah penundaan, bukan penghentian.
Rizal pun menilai, penundaan dari 15,2 GW menjadi hanya 4,64 GW ini merupakan langkah yang realistis dari pemerintah. "Saya kira mungkin karena pemerintah realistis juga, seperti melihat sudah ada perbaikan dari nilai tukar. Jadi porsinya diturunkan," tambah Rizal.
Sementara itu, Andy menyebut bahwa ada sejumlah pertimbangan dari penetapan 10,56 GW yang tidak ditunda. Antara lain terkait dengan EBT yang tak bisa ditunda sebesar 3,51 GW, pembangkit yang telah meneken Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG), serta Power Purchase Agreement (PPA) dan harga yang telah disetujui oleh menteri ESDM.
Termasuk mengenai upaya dalam menjaga reliability (keandalan) kelistrikan, dengan reserve margin sebesar 30%. Sayang, Andy tidak merinci proyek-proyek mana saja yang masuk dalam 10,56 GW atau 4,64 GW.
Hanya saja, ia menyebut bahwa proyek kelistrikan yang tergolong dalam 10,56 GW tersebar dari mulai Aceh, Riau, Bangka, Jawa, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Utara.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News