Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pandemi virus corona (Covid-19) berdampak signifikan terhadap konsumsi energi, termasuk Bahan Bakar Minyak (BBM). Adanya kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diperpanjang dan meluas di berbagai wilayah Indonesia serta larangan mudik Idul Fitri membuat konsumsi harian BBM ditaksir bakal merosot tajam.
Vice President Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman mengungkapkan, mencermati kondisi tersebut, Pertamina memprediksi konsumsi BBM pada masa Ramadan ini akan berada di kisaran 110.034 kilo liter per hari (KL/day) atau turun 20% dibandingkan kondisi normal. Angka ini jauh di bawah konsumsi pada Ramadan tahun lalu yang mencapai sekitar 138.318 KL/day.
Penurunan konsumsi BBM pun sudah terasa sejak masa tanggap pandemi virus corona dan PSBB. Menurut Fajriyah, total penurunan konsumsi BBM total hingga saat ini mencapai sekitar -20%. "Normalnya 135.000 KL/day menjadi 107.000 KL/day," ungkap Fajriyah kepada Kontan.co.id, Jum'at (24/4).
Baca Juga: Kebutuhan diprediksi naik 6%, Pertamina pastikan stok LPG aman selama Ramadhan
Konsumsi BBM yang anjlok berimbas pada pendapatan Pertamina dari sektor hilir yang bakal merosot. Asal tahu saja, dalam kondisi normal, pendapatan Pertamina dari sisi hilir berkisar di angka 70%. Dengan merosotnya konsumsi BBM rata-rata sebanyak 20% dan adanya penurunan pendapatan dari sisi hulu, maka pendapatan Pertamina bisa turun lebih dari 40%.
"Pendapatan normal Pertamina 70% dari hilir. Kalau hilir rata-rata turun 20%, bisa seperti apa. Belum lagi penurunan dari hulu. Pendapatan bisa turun sampai 40%-an bahkan lebih," terang Fajriyah.
Dalam catatan Kontan.co.id, sebelumnya Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan bahwa pendapatan holding perusahaan migas plat merah ini bakal tertekan oleh anjloknya harga minyak dan merosotnya konsumsi BBM.
Menurut Nicke, pihaknya melakukan perhitungan dengan dua skenario di mana memunculkan asumsi kehilangan pendapatan di atas 30%. Skenario pertama yang tergolong skenario berat merupakan hitung-hitungan dengan asumsi harga minyak mentah Indonesia atau Indonesia Crude Price (ICP) sebesar US$ 38 per barel dengan nilai tukar Rp 17.500 per dolar AS.
Dengan asumsi tersebut, potensi kehilangan pendapatan mencapai 38% dari target dalam Rencana Kerja Anggaran Perusahaan (RKAP) tahun ini sebesar US$ 58,3 miliar.
"Skenario kedua, sangat berat penurunannya 45% karena sangat bergantung pada penurunan ICP. Jadi luar biasa di atas 40%," tutur Nicke dalam agenda Rapat Dengar Pendapat Virtual dengan Komisi VII DPR RI, Kamis (16/4).
Skenario kedua yang digunakan Pertamina yakni dengan asumsi ICP sebesar US$ 31 per barel dengan nilai tukar Rp 20 ribu per US$.
Nicke melanjutkan, jika kondisi penurunan penjualan yang terjadi pada Maret 2020 terus berlanjut maka potensi kehilangan pendapatan mungkin saja terjadi.
Baca Juga: Pandemi virus covid ancam bisnis, Pertamina petakan potensi pengembangan petrokimia
Hingga Maret 2020, penjualan Bahan Bakar Minyak (BBM) amblas hingga 34,6% dari rerata penjualan normal.
Bahkan realisasi ini merupakan angka penjualan terendah oleh Pertamina sepanjang sejarah berdirinya perusahaan migas pelat merah ini.
"Hari ini sebagai laporan saja, secara nasional penurunan BBM itu sekitar 34,6% dibandingkan penjualan di Januari dan Februari," terang Nicke.
Nicke memastikan penurunan penjualan telah terjadi sejak Januari hingga Februari. Kendati demikian, penurunan baru mencapai 16,78% saat itu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News