Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari
Dalam catatan Kontan.co.id, sebelumnya Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan bahwa pendapatan holding perusahaan migas plat merah ini bakal tertekan oleh anjloknya harga minyak dan merosotnya konsumsi BBM.
Menurut Nicke, pihaknya melakukan perhitungan dengan dua skenario di mana memunculkan asumsi kehilangan pendapatan di atas 30%. Skenario pertama yang tergolong skenario berat merupakan hitung-hitungan dengan asumsi harga minyak mentah Indonesia atau Indonesia Crude Price (ICP) sebesar US$ 38 per barel dengan nilai tukar Rp 17.500 per dolar AS.
Dengan asumsi tersebut, potensi kehilangan pendapatan mencapai 38% dari target dalam Rencana Kerja Anggaran Perusahaan (RKAP) tahun ini sebesar US$ 58,3 miliar.
"Skenario kedua, sangat berat penurunannya 45% karena sangat bergantung pada penurunan ICP. Jadi luar biasa di atas 40%," tutur Nicke dalam agenda Rapat Dengar Pendapat Virtual dengan Komisi VII DPR RI, Kamis (16/4).
Skenario kedua yang digunakan Pertamina yakni dengan asumsi ICP sebesar US$ 31 per barel dengan nilai tukar Rp 20 ribu per US$.
Nicke melanjutkan, jika kondisi penurunan penjualan yang terjadi pada Maret 2020 terus berlanjut maka potensi kehilangan pendapatan mungkin saja terjadi.
Baca Juga: Pandemi virus covid ancam bisnis, Pertamina petakan potensi pengembangan petrokimia
Hingga Maret 2020, penjualan Bahan Bakar Minyak (BBM) amblas hingga 34,6% dari rerata penjualan normal.
Bahkan realisasi ini merupakan angka penjualan terendah oleh Pertamina sepanjang sejarah berdirinya perusahaan migas pelat merah ini.
"Hari ini sebagai laporan saja, secara nasional penurunan BBM itu sekitar 34,6% dibandingkan penjualan di Januari dan Februari," terang Nicke.
Nicke memastikan penurunan penjualan telah terjadi sejak Januari hingga Februari. Kendati demikian, penurunan baru mencapai 16,78% saat itu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News