kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

AESI Soroti Kondisi Rantai Pasok Industri Sel Surya


Senin, 20 Desember 2021 / 19:58 WIB
AESI Soroti Kondisi Rantai Pasok Industri Sel Surya
ILUSTRASI. PLTS Bawean


Reporter: Filemon Agung | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) menyoroti masih belum terintegrasinya rantai pasok industri sel surya di Indonesia. Ketua Umum AESI Fabby Tumiwa mengatakan, untuk sel surya umumnya membutuhkan bahan baku metal berupa tembaga, perak dan zinc.

Sayangnya saat ini industri di Indonesia baru merupakan industri perakitan modul surya. "Dengan adanya industri sel surya maka bisa menyerap produk olahan tembaga," ungkap Fabby kepada Kontan, Senin (20/12).

Fabby menjelaskan, selain untuk sel surya, tembaga juga dibutuhkan untuk industri kabel. Menurutnya, setiap 1 MW instalasi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) membutuhkan tembaga mencapai 4 ton hingga 5 ton. Selain itu, tembaga turut diperlukan industri kendaraan listrik.

Dengan kondisi industri yang hanya merakit modul surya, maka ada cukup banyak komponen yang dipenuhi dari impor. Komponen-komponen tersebut meliputi sel surya, hingga material pendukung seperti low iron tempered glass yang masih sebagian diimpor.

Baca Juga: Implementasikan Bisnis Berbasis ESG, Ini Langkah yang Sudah Dilakukan Trisula Textile

"Jadi pemakaian produk olahan industri rendah karena di sini hanya tinggal merakit sel jadi modul surya. Idealnya di Indonesia ada produsen sel surya dan modul surya terintegrasi. Setelah itu dibangun industri metalurgi dari produksi silikon, ingot & wafer," terang Fabby.

Fabby melanjutkan, berangkat dari kondisi ini pula lah maka perlu ada relaksasi untuk kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Ketentuan TKDN 40% untuk modul surya dinilai bisa jadi hambatan investasi. Lebih jauh ini akan menghambat Indonesia dalam menciptakan harga listrik PLTS yang kompetitif. 

Fabby pun berharap, ketentuan TKDN tidak dipaksakan pemerintah. "Untuk TKDN, beri relaksasi sampai dengan 2025 untuk mengejar target 23% Energi Terbarukan. Pada saat yang sama, bangun rantai pasok, mulai dari bangun industri sel dan modul surya terintegrasi dalam 3 tahun," ujar Fabby.

Fabby menambahkan, di saat bersamaan dengan bertumbuhnya pasar PLTS setidaknya mencapai 1 GW per tahun maka industri PLTS akan punya skala keekonomian yang cukup untuk pasarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×