Reporter: Gentur Putro Jati |
JAKARTA. Salah satu pemegang saham PT Indonesia AirAsia Sendjaja Widjaja menilai, seharusnya asas single majority dalam UU Penerbangan tidak berlaku surut. Sehingga seluruh maskapai yang sudah memiliki struktur kepemilikan tidak perlu repot merubah komposisi saham.
"Pandangan saya seharusnya single majority ini tidak berlaku surut, karena akan menciptakan ketidakpastian investasi penerbangan di Indonesia. Bayangkan saja, sudah menanamkan investasi tetapi dirubah lagi regulasinya sehingga harus melepas saham kembali. Ini kan membingungkan," keluhnya.
Namun, Direktur Angkutan Udara Tri S Sunoko berpandangan lain. Ketentuan single majority menurutnya untuk memastikan seluruh keputusan bisnis maskapai dikendalikan oleh pemegang saham dalam negeri.
"Paling lambat Januari 2012 semua aturan-aturan dalam UU Penerbangan sudah berlaku. Saya akan kirim surat ke seluruh maskapai untuk memenuhi ketentuan tersebut karena UU sudah memberikan masa transisi 3 tahun. Tetapi setahu saya maskapai lain tidak ada yang kasusnya sama dengan Indonesia AirAsia," ujar Tri.
Sesuai Pasal 108 ayat (3) Undang-Undang (UU) Nomor 1/2009 tentang Penerbangan, badan usaha angkutan udara niaga nasional seluruh atau sebagian besar modalnya (51%) harus dimiliki oleh badan hukum atau warga negara Indonesia.
Namun jika kepemilikan Indonesia terbagi atas beberapa pemilik modal, maka salah satu pemilik modal nasional harus tetap lebih besar dari keseluruhan pemilik modal asing.
Seperti diketahui, Indonesia AirAsia belum menerapkan ketentuan tersebut. Karena 51% modal Indonesia dimiliki oleh tiga pihak yaitu Sendjaja Widjaja 21%, Pin Harris 20%, dan PT Fersindo Nusaperkasa 10%. Sehingga tidak bisa melebihi kepemilikan 49% saham oleh AA International Limited (AAIL), anak usaha dari AirAsia Berhad Malaysia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News