Reporter: Filemon Agung | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Upaya pemerintah dalam menggencarkan pengbangan Energi Baru Terbarukan (EBT) dinilai perlu memperhatikan kondisi yang terjadi di sejumlah negara.
Rektor Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Prof Mukhtasor menjelaskan pengembangan EBT di Indonesia sebaiknya mencontoh India dan Cina ketimbang negara-negara Eropa dan Amerika Serikat.
"Strategi Indonesia gak bisa dipaksain pakai Eropa dan AS, tapi India dan Cina menarik. Kalau di Eropa EBT didorong untuk jadi solusi energi karbon," kata Mukhtasor dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VII DPR RI, Selasa (1/2).
Mukhtasor melanjutkan, Indonesia sejatinya belum benar-benar mendesak untuk mengurangi emisi karbon jika dibandingkan negara lainnya merujuk pendapatan per kapita sat ini.
Ia enilai, pengembangan EBT haruslah didorong sejalan dengan upaya meningkatkan idustri. Hal inilah yang dilakukan di Cina dan India. "Kalau untu digunakan sebagai carbon capture maka harunya emisi karbon dimanfaatkan untuk sesuatu yang bernilai tambah," jelas Mukhtasor.
Ia menambahkan, pemerintah perlu memperhatikan ini dalam penyusunan UU EBT nantinya.
Baca Juga: Akademisi menyoroti poin-poin dalam RUU EBT, khususnya soal PLTN
Sementara itu, Direkur Pusat Penelitian Energi Terbarukan Universitas Indonesia (UI) Eko Andi Setiawan bilang perlu ada penjelassalanjutan dari pemerintah mengenai sejumlah ketentuan seperti ketentuan mengembangkan EBT untuk menggantikan energi tak terbarukan secara bertahap. "Perlu dijelaskan pembangkit apa yang diganti, kapan akan diganti dan waktu pelaksanaannya," jelas Eko.
Ia menambahkan pemerintah juga perlu mempertimbangkan terkait rencana pengembangan nuklir sebagai energi listrik. Menurutnya, Jerman yang terkenal sebagai salah satu negara dengan PLTN yang masif pun berkomitmen untuk menghentikan nuklir bertahap hingga 2022 mendatang.
Sementara itu, Kepala Pusat Perubahan Iklim Intitut Teknologi bandun (ITB) Djoko Santoso Abi Suroso menyoroti pentingnya kepastian kordinasi lintas Kementerian/Lembaga dalam RUU EBT maupun aturan turunannya.
"Kami menemukan ada inkosistensi dan disharmoni antara kementerian semisal ESDM dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Tata kelola pusat dan daerah juga perlu diperjelas," kata Djoko.
Ia menambahkan pemerintah juga perlu memastikan terkait skema pendanaan bagi upaya pengembangan EBT. Tak sampai disitu, Djoko berharap ada penguatan ktentuan guna memastikan peran swasta menengah dan organisasi masyarakat sipil untuk terlibat dalam pengembangan EBT.
Selanjutnya: Demi Bauran EBT, Pemerintah Akan Mengonversi 23 PLTU Berusia Tua
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News