Reporter: Dimas Andi | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Perusahaan Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) menilai, masih ada sejumlah tantangan yang mempengaruhi kelangsungan hilirisasi mineral, khususnya nikel dan bauksit di Indonesia.
Ketua Umum AP3I Prihadi Santoso menilai, pandemi Covid-19 bukan satu-satunya faktor yang menghambat proses hilirisasi nikel dan bauksit. Menurutnya, fokus investor saat ini tertuju pada kepastian kebijakan dan regulasi yang berlaku di Indonesia.
Kondisi di Indonesia sendiri masih tengah berbenah menuju kaidah pemerintahan yang baik atau good governance & practice. Hal ini terlihat dari penerbitan UU Cipta Kerja yang diikuti oleh penyusunan beberapa RPP turunan dari beleid tersebut.
“Dalam RPP terlihat ada kerikil-kerikil lintas sektor, misalnya Kementerian ESDM dengan Kementerian Perindustrian dan KLHK. Peran KLHK dalam menata ulang industri daur ulang dapat mempengaruhi kinerja perusahaan-perusahaan di industri minerba dan sebagainya,” ungkapnya, Minggu (14/2).
Baca Juga: Rogoh dana Rp 69,19 miliar, begini strategi eksplorasi mineral Aneka Tambang (ANTM)
Selain itu, para investor di sektor hilir nikel dan bauksit juga tengah menanti kepastian penyelesaian dokumen kebijakan minerba Indonesia yang disusun Kementerian ESDM.
Meski telah diproses sejak tahun 2018 hingga 2020, pemerintah merasa masih membutuhkan sejumlah masukan dari para ahli dan praktisi agar dokumen kebijakan tersebut bisa difinalisasikan dengan baik.
“Bagaimana para investor ini bisa membuat analisis akhir kalau kebijakan dari pemerintah masih belum final,” tutur Prihadi.
Menurutnya, kondisi seperti ini turut mempengaruhi kelangsungan proyek-proyek yang terkait dengan hilirisasi di bidang nikel dan bauksit. Sekadar catatan, data Kementerian ESDM menunjukkan hingga 2020 terdapat 13 smelter nikel dan 2 smelter bauksit yang beroperasi di Indonesia.
Pemerintah menargetkan adanya 30 smelter nikel dan 11 smelter bauksit yang berdiri pada tahun 2024 nanti. Adapun nilai investasi yang dibutuhkan untuk mencapai target tersebut mencapai US$ 8 miliar untuk smelter nikel dan US$ 8,64 miliar untuk smelter bauksit.
AP3I menilai, ada banyak sektor industri yang bisa dikembangkan dengan memanfaatkan produk dari smelter nikel maupun bauksit. Selain untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri, produk dari hilirisasi nikel dan bauksit yang sudah memiliki nilai tambah juga dapat diekspor ke luar negeri.
“Riset dan pengembangan masih terus dilakukan untuk mengetahui manfaat produk nikel dan bauksit di Indonesia,” tandas Prihadi.
Selanjutnya: Masuk Tahun Kerbau Logam, ini prospek dan rekomendasi saham ANTM, PTBA, & TINS
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News