Reporter: Leni Wandira | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta menegaskan bahwa China tidak menjadikan Indonesia sebagai hub industri tekstil di Asia Tenggara, melainkan sebagai pasar barang-barang murah dari negeri tirai bambu tersebut.
"China tidak pernah menjadikan kita sebagai hub, tapi sebagai pasar barang murahnya. Mereka membanjiri pasar domestik kita langsung dengan produk jadi, bukan hanya bahan baku," ujar Redma kepada Kontan.co.id, Minggu (27/10).
Menurut dia, dominasi produk China di pasar domestik semakin kuat, tidak lagi hanya berperan sebagai pemasok bahan baku bagi produk yang diekspor ke Eropa atau Amerika. Redma menilai bahwa maraknya impor produk tekstil jadi berdampak negatif bagi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) lokal.
Menanggapi kehadiran brand global seperti Zara dan Uniqlo yang mulai memproduksi di dalam negeri, Redma mengakui adanya dampak positif sekaligus negatif.
Baca Juga: Serikat Pekerja Ungkap Penyebab Banyak Industri Lakukan PHK
Di satu sisi, brand global tersebut telah mendorong industri TPT Indonesia menuju kualitas produksi kelas dunia, dengan standar yang lebih memperhatikan aspek lingkungan, kesejahteraan pekerja, dan kepuasan konsumen. "Namun, di sisi lain, kehadiran brand global ini diiringi dengan syarat penggunaan bahan baku impor, seperti dari China, Korea, atau Taiwan," kata Redma.
APSyFI juga menyebutkan bahwa kebijakan pemerintah yang terlalu memfasilitasi impor atas nama global value chain malah merusak integrasi industri dalam negeri. Banyak produsen kain lokal yang beralih menjadi importir karena derasnya arus impor bahan baku, sehingga terjadilah deindustrialisasi.
"Permasalahan sebenarnya ada di dalam negeri, di mana kebijakan perdagangan bebas dan global supply chain dijadikan alasan untuk membuka impor. Selain itu, praktik kongkalikong antara oknum pejabat dan importir semakin memperparah masalah ini," ungkap Redma.
Baca Juga: Sritex Dinyatakan Pailit, Begini Respons APSyFI
dia menyoroti peran oknum di kalangan pejabat, pengusaha logistik, hingga petugas bea cukai yang membuka jalan bagi barang impor ilegal dari China, yang pada akhirnya menghambat investasi baru, baik Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanaman Modal Asing (PMA).
Di tengah tren global menuju net zero carbon, Redma berharap industri tekstil Indonesia dapat lebih mengutamakan bahan baku dalam negeri. Apalagi, dengan adanya perjanjian perdagangan bebas (FTA) dengan Eropa yang akan segera ditandatangani, industri TPT harus mampu menyesuaikan diri dengan permintaan bahan baku lokal.
"Strategi ini dapat memperkuat daya saing industri lokal dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional," tambahnya.
Dalam upaya mendukung industri lokal, APSyFI menekankan pentingnya kebijakan yang lebih protektif terhadap produk lokal serta pengetatan impor barang jadi. Redma berharap bahwa regulasi dan pengawasan yang lebih ketat dapat membantu menjaga stabilitas dan keberlanjutan industri TPT di Indonesia, sehingga para pemain lokal dapat terus bertahan dan berkembang di tengah tantangan dominasi asing.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News