kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

APSyFI: Industri TPT sebetulnya memburuk


Rabu, 10 Juli 2019 / 18:14 WIB
APSyFI: Industri TPT sebetulnya memburuk


Reporter: Yasmine Maghfira | Editor: Azis Husaini

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Kinerja perdagangan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional masih memburuk di Semester I-2019 karena ditekan oleh pertumbuhan impor. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) rata-rata pertumbuhan impor dari tahun 2007-2018 mencapai 12,3%, sedangkan ekspor hanya di level 3,1%.

Usai acara evaluasi kinerja semester I-2019, Sekretaris Jenderal Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta yang ditemui di Hotel Grand Sahid Jaya pada (10/7) menyatakan, meski data BPS sempat menunjukkan penurunan pertumbuhan impor di kuartal I 2019, tetapi impor kembali naik pasca lebaran kemarin.

Menurut Redma, impor memang turun di kuartal I 2019, namun ia memperkirakan sejak April 2019 impor naik kembali sekitar $720 juta. Terlepas dari data BPS yang baru dirilis sampai April, Redma juga memprediksi bahwa perkiraan bulan Mei lalu impor mengalami kenaikan hingga $800 juta.

Jika melihat dari neraca perdagangan industri TPT nasional selama 10 tahun terakhir, neraca terus tergerus dari $6,7 miliar menjadi $3,2 miliar. "Kenapa kita perlu melihat data 10 tahun terakhir, biar bisa melihat perbandingan dan tahu kalau industri TPT ya gini-gini aja," ujar Redma.

APSyFI juga memprediksi bahwa dalam tiga tahun ke depan sektor TPT akan mengalami ancaman defisit pada neraca perdagangan. APSyFI memperkirakan semester 1 2019 impor naik sekitar 7% year on year (yoy) atau senilai $4,4 miliar, sedangkan neraca perdagangan diprediksi menjadi $2 miliar.

Selain itu, APSyFI mencatat tahun 2018 merupakan pertumbuhan kinerja perdagangan TPT nasional yang terburuk. Sebab, pada tahun 2018 ekspor hanya mencapai level 0,9%, itu lebih kecil dibandingkan dengan tahun 2017 yang mencapai 11%. 

Sementara, impor tahun 2018 meningkat di angka 13,8% dibandingkan 2017 yang berada di level 2,3%. Hal tersebut menyebabkan neraca perdagangan tahun 2018 mengalami defisit sebesar 25,5%. Padahal, di tahun 2018 neraca mengalami surplus sebesar 18%.

Menurut Redma, salah satu penyebab turunnya kinerja perdagangan industri TPT ialah ditetapkannya Permendag 64 Tahun 2017. Kebijakan ini menetapkan impor dibuka untuk pedagang (API-U) melalui Pusat Logistik Berikat (PLB). Anggota APSyFI yang hadir turut menambahkan bahwa kebijakan impor melalui PLB memiliki kekurangan karena tanpa batasan dan pengendali kontrol yang jelas.

Menutup pemaparannya, Redma menyatakan kebijakan Permendag 64 Tahun 2017 memberatkan industri TPT, khususnya industri hulu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×