Reporter: Danielisa Putriadita | Editor: Wahyu T.Rahmawati
JAKARTA. Indonesia masih kemasukan impor ilegal berupa serat, benang, kain maupun garment. Jumlahnya mencapai 310.000 ton pada tahun lalu.
Ini adalah data dari Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI). Sekretaris Jenderal APSyFI, Redma Gita Wirawasta dalam keterangan tertulis yang diterima KONTAN, Kamis (20/7) mengungkapkan, barang impor ilegal sebagian besar masuk melalui cara impor borongan dan rembesan kawasan berikat. "Ada pula yang separuh nyolong dengan cara underinvoicing/underpricing atau pelarian harmonized system (HS) ke nomor HS yang bea masuknya 0%," jelas Redma.
Impor borongan dalam satu kontainer berisi beberapa jenis barang biasanya dikenakan biaya Rp 150 sampai Rp 200 juta. Namun jika dihitung secara detail, bea masuk, pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh) seharusnya bisa di atas Rp 500 juta.
Redma mengusulkan agar pemerintah melarang praktik impor borongan ini atau paling tidak dikenakan tarif maksimal. “Untuk tekstil kalau satu kontainer isinya beberapa jenis barang, anggap saja semuanya garmen, bea masuk 20%, PPN 10%, PPh 2,5%, total impor garmen per kontainer kira-kira Rp 3 miliar. Jadi tarif impor maksimalnya sekitar Rp 975 juta,” tambah Redma.
Sementara rembesan kawasan berikat merupakan praktik lama yang baru-baru ini terungkap kasus ekspor fiktif. “Perusahaan nakal di kawasan berikat sebenarnya menjual barang ke pasar domestik, untuk menghindari bea masuk dan pajak yang ditangguhkan mereka melakukan ekspor fiktif,” jelas Redma.
Oleh karena itu Redma mengusulkan agar fungsi kawasan berikat dikembalikan seperti semula sebagai tempat perusahaan yang 100% melakukan ekspor. “Jika ada perusahaan yang ekspor namun juga masih perlu pasar domestik, pemerintah sudah memberikan fasilitas KITE (Kemudahan Impor Tujuan Ekspor). Jadi pengawasan bea cukai di kawasan berikat jadi lebih mudah,” jelas Redma.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News