kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.318.000 -0,68%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

APTRI Ungkap Penyebab Kelangkaan Gula di Ritel Modern


Selasa, 23 April 2024 / 00:03 WIB
APTRI Ungkap Penyebab Kelangkaan Gula di Ritel Modern
ILUSTRASI. Pekerja menyiapkan gula pasir untuk disalurkan ke operasi pasar dan penyaluran Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) di Gudang Perum Bulog Sub Divisi Regional Tangerang, Kota Tangerang, Banten, Rabu (29/4/2020). Kementerian Perdagangan menyatakan bakal memangkas rantai distribusi agar harga gula di tingkat konsumen kembali stabil sesuai herga eceran tertinggi (HET) sebesar Rp12.500 per kg. ANTARA FOTO/Fauzan/foc.


Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ketua Umum DPN Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen membeberkan penyebab langkanya gula konsumsi beberapa waktu terakhir di sejumlah toko ritel di Indonesia. 

Hal ini terjadi karena para peritel tidak berani menjual stok gula mereka di atas Harga Acuan Pemerintah (HAP). 

“Orang gak berani jual terutama toko ritel di atas HAP, walaupun barang ada dan terjadi kenaikan meskipun itu sedikit katakanlah 50 perak atau 100 perak mereka gak berani jual, karena mereka ada sanksi,” ungkap Soemitro kepada Kontan, Senin (22/04).

Baca Juga: Gula Konsumsi Langka, APTRI Usulkan HAP Dihapus

Menurutnya dengan adanya HAP, harga gula dipasar menjadi rigid atau tidak fleksibel. Sedangkan harga pasar sangat dinamis tergantung pada supply and demand yang ada. 

“Kalau di ritel ada kelangkaan, itu sebetulnya bukan kelangkaan stok tapi kelangkaan gula di pasar ritel karena mereka tidak berani menjual di atas HAP.  Mereka (peritel) akan kena sanksi kalo berani jual di atas itu (HAP). Waktu HAP Rp 16.000 mereka usul supaya dinaikan sekarang Rp 17.500 hingga Rp 18.000. Tapi kan harga ini sebenarnya juga naik turun, kalau naik mereka tidak berani jual walau ada pasokan sekalipun,” tambahnya. 

Dirinya menambahkan saat ini 95% lebih stok gula konsumsi berada di tangan pelaku usaha. Sedangkan pemerintah tidak memiliki stok, yang seharusnya bisa dijadikan ‘senjata’ jika terjadi kenaikan di pasar. 

Baca Juga: Harga Sejumlah Bahan Pangan Kembali Naik Usai Lebaran

“Yang pegang barang ini (gula) sekarang, 95% lebih itu di tangan pelaku usaha. Bukan di tangan pemerintah. Padahal ini namanya bahan pokok, nah harusnya kalau pangan pokok pemerintah harus punya stok. Kalau nanti ada lonjakan harga, misalnya sekarang karena kelangkaan pemerintah bisa intervensi. Tapi bukan dengan peraturan atau regulasi, tapi dengan operasi pasar pemerintah,” jelasnya. 

Langkah ini menurut Soemitro berhasil dilakukan pemerintah saat menekan kenaikan harga beras jelang pemilu tahun 2024 ini. 

“Karena pemerintah punya cadangan beras makanya bisa jual beras murah Rp 10.500 yang kantong 5 kg dengan operasi pasar. Meskipun operasi pasar itu terlambat ya, harusnya bisa antisipasi kekurangan beras sehingga impor tidak terlambat,” katanya.

Sedangkan hal ini tidak bisa diterapkan pada gula karena pemerintah tidak memiliki stok.  

Baca Juga: Pasokan Menipis, Stok Gula Konsumsi Diprediksi Hanya Cukup Sampai Mei 2024

“Gula lebih kacau lagi, karena pemerintah tidak memegang stok. Jadi yang pertama ya harus hapus HAP, karena tidak bisa mengendalikan harga pasar. Karena harga pasar tergantung supply dan demand,” katanya.

Dengan dicabutnya HAP, menurut dia stok di pasar akan perlahan-lahan keluar dan tidak terjadi kelangkaan. 

“Saya berani bertaruh, kalau cabut HAP, itu barang (gula) akan keluar semua, dan harga akan turun. Malah akan berebut keluar, dulu-duluan,” tutupnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×