Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Keputusan Amerika Serikat (AS) untuk keluar dari Perjanjian Iklim Paris atau Paris Climate Agreement disinyalir akan berdampak pada pendanaan AS di sektor energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia.
Asal tahu saja, salah satu pendanaan transisi energi Indonesia berasal dari Just Energy Transition Partnership (JETP) yang diinisiasi oleh International Partners Group (IPG) dan diketuai oleh Amerika Serikat dan Jepang.
Terkait dampaknya pada pendanaan ke Indonesia, Direktur dan Founder Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan mundurnya AS berpotensi menutup langkah kerjasama multilateral dan lebih memilih melakukan kerjasama dengan cara bilateral.
"Ini memunculkan kekhawatiran negara-negara dari Eropa, khususnya negara maju mengikuti langkah Amerika untuk meninggalkan langkah multilateral JETP dan memilih langkah bilateral," kata Bhima saat dihubungi Kontan, Rabu (29/01).
Baca Juga: AS Cabut dari Perjanjian Paris, Bahlil Ungkap Pengaruhnya ke Proyek EBT di Tanah Air
Adapun, mundurnya Amerika diprediksi membuat realisasi pendanaan JETP yang tadinya dijanjijan senilai 21,5 miliar dollar AS (kini bertambah) atau Rp 333,8 triliun (dengan kurs Rp 15.527 per dollar AS) sulit tercapai atau bahkan tidak tercapai sama sekali.
"Rp 300 triliun sekian saya rasa tidak dilanjutkan atau kalaupun dilanjutkan dengan waktu yang sangat lama. Sejauh ini belum ada negara yg mampu menggantikan peran AS. Jepang pun di dalam JETP punya agenda lain, jadi belum adanyg menggantikan leadership Amerika, dalam pendanaan ini," jelasnya.
Di dalam negeri menurutnya JETP juga mengalami kendala semenjak Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Republik Indonesia (Kemenkomarves) yang sebelumnya menjadi kementerian yang bertanggungjawab atas JETP tidak dilanjutkan pada pemerintahan baru Presiden Prabowo.
"JETP ini kan harusnya ada di bawah Kemenkomarves. Tapi pasca pemecahan nomenklatur atau penambahan nomenklatur baru era Prabowo, tidak ada menteri koordinasi spesifik yang tidak membawahi JETP. Ini akan membingungkan para negara dan bank yang mau bergabung dalam skema pendanaan JETP," jelasnya.
Meski begitu, Bhima bilang Indonesia masih memiliki peluang mencari pendanaan dari luar JETP seperti dari negara-negara Timur Tengah.
"Salah satu patner yang potensial adalah Timur Tengah. Jadi nanti masuk dengan kerjasama bilateral, catatannya butuh pembiayaan spesifik khusus, dan lokasi yang strategis," katanya.
Potensial kerjasama dengan Timur Tengah ini menurutnya terlihat dari berhasilnya kerja sama PLTS terapung di Waduk Saguling akan dikelola PT Indo ACWA Tenaga Saguling, merupakan joint venture antara PLN Indonesia Power dengan ACWA Power, perusahaan energi asal Arab Saudi.
Atau keberhasilan kerjasama PLTS Terapung Cirata yang merupakan hasil kerja sama antara PLN Nusantara Renewables (PLN NR) dan Masdar, perusahaan energi asal Uni Emirat Arab (UEA).
"Era Trump, ada kecenderungan pendanaan energi terbarukan ini sifatnya bilateral. Jadi dari multilateral menjadi pendanaan bilateral," tutupnya.
Baca Juga: Pemerintah Beri Jaminan bagi Proyek Energi Hijau
Selanjutnya: WOM Finance Salurkan Pembiayaan ke Sektor Produktif Sebesar Rp 2 Triliun
Menarik Dibaca: 9 Tips Menurunkan Gula Darah Tinggi secara Alami saat Hamil
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News