Reporter: Raymond Reynaldi | Editor: Test Test
JAKARTA. Pemberlakuan ASEAN-China Free Trade Agreements (AC-FTA) awal tahun 2010 kian merapuhkan kelangsungan hidup industri serat sintetis (stable fibre) dalam negeri. Padahal sejak 2003, jumlah perusahaan serat sintetis sudah mengkerut dari 18 menjadi 13 perusahaan.
Salah satu penyebab menciutnya perusahaan serat sintetis lokal adalah kalah bersaing di tengah derasnya aliran produk dari China, Taiwan, dan India. "China dan India dumping barang, harga jual serat di pasar domestiknya jauh lebih mahal daripada yang diekspor," kata Kustardjono Prodjolalito, Sekjen Asosiasi Produsen Serat Sintetis dan Fiber Indonesia (APSYFI), Minggu (13/12).
Seiring menyusutnya jumlah perusahaan lokal, volume serat sintetis impor semakin besar. Volume impor serat sintetis yang 2007 lalu sebanyak 40.000 ton, telah meningkat menjadi 46.000 ton per Agustus 2009.
Disamping itu, Kustardjono menghitung, ekspor serat sintetis tahun depan kemungkinan bakal anjlok. Pasalnya, utilisasi pabrik merosot dan bea masuk anti dumping atas produk Indonesia diberlakukan di beberapa negara tujuan ekspor, seperti Pakistan, Turki, India, Argentina, dan Brazil. "Kita tidak mungkin lagi ekspor ke sana, bea masuknya terlalu tinggi, sekitar 15%-30%," terang Kustardjono.
Ia meramalkan, kinerja ekspor serat sintetis 2009 akan menurun menjadi US$ 2,79 miliar dari US$ 3 miliar di tahun 2008.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Benny Soetrisno menghitung, bila proses negosiasi penundaan AC-FTA belum rampung hingga 31 Desember 2009, maka utilisasi industri serat sintetis tahun depan akan terpangkas menjadi 50%.
Menurut Benny, setiap perusahaan serat sintetis di Indonesia telah membenamkan investasi sedikitnya US$ 450 juta - US$ 500 juta.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News