Reporter: Lidya Yuniartha | Editor: Dessy Rosalina
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Produksi kakao Indonesia terus mengalami penurunan. Melihat hal ini, Ketua Asosiasi Petani Kakao Indonesia (APKAI) Arief Zamroni mengungkap pemerintah perlu memperhatikan komoditas kakao dengan lebih serius.
"Kakao Indonesia memang perlu diperhatikan lebih serius. Bahkan, kalau bisa ada Gerakan Nasional (Gernas) kakao yang harus dimasifkan lagi," ungkap Arief kepada KONTAN, Rabu (11/10).
Arief mengungkap, Gernas yang sempat dilakukan pada tahun 2009 hingga 2013 memiliki beberapa kendala yang perlu untuk dikembangkan lagi. Menurutnya masalah utama yang dihadapi petani lebih kepada penyuluh atau pendamping yang lebih masif.
"Karena masalah utama di kakao itu lebih kepada Sumber Daya Manusianya," tambahnya.
Tak hanya sekedar tenaga penyuluh, untuk meningkatkan produktivitas kakao yang diperlukan adalah rehabilitasi, intensifikasi, pemangkasan, pemupukan, serta pengairan. Menurut Arief, hal ini sulit dilakukan karena pemerintah saat ini lebih fokus meningkatkan produksi padi, jagung, dan kedelai (pajale).
Menurut Arief, saat ini pohon kakao di Indonesia juga harus direplanting dalam jumlah yang sangat banyak. Terlebih, pohon-pohon kakao di Indonesia kebanyakan ditan pada tahun 1980-an. "Karena banyak perlakuan yang tidak tepat harus dilakukan peremajaan. Paling tidak harus ada sambung samping atau sambung pucuk," jelasnya.
Dia berpendapat, bila pemerintah membiarkan kondisi ini terus menerus, maka hal ini dapat menimbulkan ancaman yang serius bagi komoditas kakao Indonesia. "Kalau dibiarkan lima tahun saja selesai sejarah kakao Indonesia. Petani kan raja, itu kan tanahnya sendiri. Karena itulah dari setiap stake holder harus berpikir keras bagaimana kakao indonesia itu tidak tinggal sejarah seperti Malaysia," terang Arif.
Dia berpendapat terdapat sekitar 10-15% petani kakao yang beralih fungsi terhadap komoditas lain. Hal ini disebabkan produktivitas yang tak kunjung meningkat, serta kebijakan yang tidak tepat. Memang menurutnya terdapat pengembangan di bidang kakao sebanyak 5%, namun hal tersebut tidak didukung dengan pendamping dan SDM yang cukup sehingga apa yang dilakukan tidak menunjukkan hal efektif.
Dia juga menyebutkan, faktor utama yang sangat diperhatikan petani adalah harga. Bila harga di tingkat petani masih menguntungkan, maka petani akan mempertahakannya. Bila tidak, maka petani akan memilih beralih.
"Saat ini harga di tingkat petani sekitar Rp 20.000-an per kg, harganya menurut saya masih di ambang normal walau ada sedikit penurunan. Bagi petani yang SDM-nya bagus dan berkelompok dengan bagus ini tidak masalah, tetapi bagi petani yang sendirian tidak punya kelompok dan tidak terlalu terawat pohonnya, akhirnya produktivitasnya rendah dan tidak akan menguntungkan," terang Arief.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News