Reporter: Barratut Taqiyyah Rafie | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) menilai, konsep Rancangan Undang Undang Penyiaran yang saat ini memasuki tahap harmonisasi antara Badan Legislatif dan Komisi I DPR RI, masih jauh dari harapan. RUU tersebut dianggap belum bisa menciptakan industri penyiaran yang sehat karena masih ada sejumlah poin yang secara substansi belum menemukan titik temu.
Misalnya saja, Komisi I DPR masih tetap ngotot bahwa Baleg tidak memiliki kewenangan dalam melakukan perubahan substasnsi atas konsep RUU Penyiaran. Sedangkan di lain pihak, Baleg berpendapat bahwa kewenangan tersebut diberikan kepada Baleg berdasarkan UU No 12/2011 dan UU MD3.
Salah satu dari perubahan substansi yang dilakukan oleh Baleg adalah tentang model bisnis migrasi sistem penyiaran televisi terresterial penerimaan tetap tidak berbayar (TV FTA) analog menjadi digital.
Intinya, Komisi I tidak bersedia untuk mengubah konsep single mix operator dan penetapan Lembaga Penyiaran Publik Radio Televisi Republik Indonesia (LPP RTRI) sebagai satu-satunya penyelenggara penyiaran multipleksing digital.
Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Ishadi SK mengatakan, penerapan konsep single mux berpotensi menciptakan praktik monopoli dan bertentangan dengan demokratisasi penyiaran.
"Kami menolak konsep single mux tersebut. Konsep itu bertentangan dengan UU no.5 tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, sekalipun dilakukan oleh lembaga yang dimiliki pemerintah," jelas Ishadi.
Dia menambahkan, penetapan single mux operator akan berdampak pada LPS eksisting yang akan menghadapi ketidakpastian. Sebab, frekuensi penyiaran hanya dikelola oleh satu pihak saja. Dampak negatif lainnya yakni terjadi pemborosan infrastruktur dan bisa menyebabkan PHK karyawan stasiun televisi yang selama ini mengelola infrastruktur transmisi.
Adapun solusi yang ditawarkan Ishadi adalah memajukan penyiaran multipleksing yang dilaksanakan oleh LPP dan LPS atau yang dikenal dengan model bisnis hybrid. "Konsep hybrid merupakan solusi dan bentuk nyata demokratisasi penyiaran yang merupakan antitesa dari monopoli," ucapnya.
Sementara itu, Pengamat Komunikasi Politik Universitas Pelita Harapan Emrus Sihombing mengatakan, untuk menjamin kebebasan berpendapat maka sejatinya negara memberikan otonomi kepada lembaga penyiaran untuk mengelola aspek, termasuk frekuensi dan infrastruktur yang terkait dalam proses produksi program acara.
Hal senada diungkapkan Direktur Eksekutif Lembaga Pengembangan Pemberdayaan Masyarakat Informasi Indonesia (LPPMII) Kamilov. Dia mengatakan bahwa penetapan LPP Radio Televisi Republik Indonesia (RTRI) menjadi penyelenggara tunggal penyiaran multipleksing digital atau lebih dikenal dengan single mux, bertentangan dengan semangat demokrasi yakni terkait larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News