Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Berdasarkan laporan Delivering Power Sector Transition, Institute for Essential Services Reform (IESR) menemukan bahwa dari 13,8 Gigawatt (GW) PLTU yang direncanakan pembangunannya dalam RUPTL 2021-2030, sebanyak 9 unit pembangkit dengan total kapasitas 2,9 GW dapat dibatalkan.
Pembatalan ini dinilai merupakan opsi termurah untuk menghindari emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di sektor ketenagalistrikan.
Masih dalam laporannya, dari rencana pembangunan PLTU tersebut sebanyak 10,6 GW perlu diakhiri operasinya secara dini dan 220 MW dipertimbangkan untuk diganti dengan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan seperti biomassa.
Akbar Bagaskara, Peneliti Sistem Ketenagalistrikan menyebut, dari analisis yang dilakukan dalam laporan ini, pembatalan pembangunan PLTU batubara yang dibarengi dengan pensiun dini bagi PLTU dapat membantu mencapai target puncak emisi yang disepakati dalam Just Energy Transition Partnership (JETP).
Baca Juga: Indonesia Tak Lagi Masuk Daftar 10 Besar Negara Penyumbang Emisi Gas Rumah Kaca
Dalam kesepakatan pendanaan JETP, Indonesia berkomitmen mencapai puncak emisi sebesar 290 juta ton CO2 pada 2030, dan menaikkan bauran energi terbarukan di sektor ketenagalistrikan menjadi 34% pada 2030.
“Kami memperkirakan ada 5,6 GW PLTU yang harus dipensiunkan sebelum 2030 jika 2,9 GW PLTU dapat dibatalkan pembangunannya,” ujarnya dalam keterangan resmi, Selasa (20/6).
Di dalam laporannya, IESR juga menyadari bahwa pembatalan tidak boleh diputuskan secara sepihak oleh PLN untuk menghindari sengketa hukum. Namun untuk mewujudkannya diperlukan kesepakatan antara PLN dan pembangkit listrik milik swasta (IPP) mengenai syarat pembatalan dan kompensasi IPP.
Berdasarkan kajian IESR yang berjudul Financing Indonesia’s coal phase out: A just and accelerated retirement pathway to net-zero menemukan, penghentian operasi PLTU batubara bermanfaat dari segi ekonomi dan sosial seperti terhindarnya biaya subsidi listrik yang diproduksi dari PLTU batubara dan biaya kesehatan.
Baca Juga: Pertamina Geothermal (PGEO) Optimistis Pendapatan Carbon Credit Naik Signifikan
Adapun biaya subsidi listrik dan biaya kesehatan tersebut masing-masing berjumlah US$ 34,8 miliar dan US$ 61,3 miliar—2 kali sampai 4 kali lebih besar—dari biaya aset terbengkalai (stranded asset), penghentian pembangkit (decommissioning), transisi pekerjaan, dan kerugian penerimaan negara dari batubara.
“Hingga tahun 2050, diperkirakan akan diperlukan biaya investasi untuk pengembangan energi terbarukan dan infrastruktur pendukung, sebagai pengganti dari PLTU batubara yang dipensiunkan, sebesar US$ 1,2 triliun,” ujar Raditya Wiranegara, Peneliti Senior IESR.
Raditya mengatakan, dukungan pendanaan internasional tentunya akan dibutuhkan untuk mewujudkan hal ini. Namun, dengan melakukan pensiun dini PLTU dan mengakselerasi pengembangan energi terbarukan di Indonesia diperkirakan akan ada 168.000 kematian yang bisa dihindarkan hingga tahun 2050.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News