Reporter: Noverius Laoli | Editor: Harris Hadinata
JAKARTA. Usul Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menerapkan bea keluar (BK) untuk rumput laut belum akan diberlakukan. Kementerian Perdagangan (Kemdag) sebagai pihak yang memiliki kewenangan atas hal tersebut menilai BK untuk rumput laut masih perlu ditinjau lagi.
Menteri Perdagangan (Mendag) Rachmat Gobel mengungkap hal tersebut saat melakukan pertemuan dengan Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI) bebeapa waktu lalu. Kemdag belum akan memberlakukan BK ini sampai ada perencanaan matang antara sektor hulu yang dikelola Kementerian Perikanan dan Kelautan (KKP) dengan sektor hilir yang dikelola Kemenperin. Kemdag meminta agar dibuat road map atau perencanaan hilir-hulu terlebih dulu.
Karena itu, dalam lima tahun pemerintahan Joko Widodo ini, tidak akan ada lagi pembicaraan soal perlu tidaknya pemberlakukan BK bagi rumput laut. Kecuali di masa mendatang ditemukan adanya kebutuhan yang sangat mendesak dan harus ada kebijakan baru. Sejauh ini, isu mengenai kekurangan pasokan rumput laut dalam negeri tidak benar, sehingga tidak mendesak diberlakukan BK untuk ekspor.
Ketua ARLI Safari Azis, mengatakan menyambut baik keputusan Kemdag tersebut. Ia bilang, Kemdag telah menyatakan tidak akan mengenakan BK untuk ekspor rumput laut sebelum dibuat integrasi antara pengembangan hulu dan hilir. Azis bilang, Mendag telah menargetkan ekspor rumput laut meningkat 300% sampai lima tahun ke depan, karena itu pengenaan BK bagi rumput laut berpotensi menurunkan impor dan merugikan eksportir rumput laut.
Menurut Azis, sejauh ini, tidak ada kekurangan rumput laut di dalam negeri. Ia justru menyebut isu pengenaan BK bagi rumput laut itu membuat harga rumput laut anjlok dari rata-rata Rp 13.000 per kilogram (kg) menjadi tinggal Rp 9.000 per kg. Bahkan ada rumput laut jenis tertentu yang harganya anjlok jadi Rp 4.000 per kg dari sebelumnya Rp 9.000 per kg. "Malahan meskipun harganya sudah turun, tapi tidak ada yang membeli," ujar Azis kepada KONTAN beberapa waktu lalu.
Sejauh ini, konsumsi rumput laut dalam negeri masih tergolong kecil. Dari total produksi rumput laut kering pada tahun 2014 sebesar 1 juta kg atawa 10 juta kg basah, hanya 800.000 kg yang bisa diserap industri dalam negeri. Selain itu, lanjut Azis, sebagian besar hasil olahan rumput laut oleh industri dalam negeri kembali diekspor. Sebab, pengolahan rumput laut oleh industri dalam negeri masih berada di bawah hasil pengolahan industri Tiongkok dan Filipina. "Jadi kualitas pengolahan industri dalam negeri masih rendah," imbuhnya.
Karena itu, usulan pengenaan BK bagi rumput laut justru merugikan para petani karena industri dalam negeri belum siap mengolah rumput laut dengan kualitas sejajar negara-negara lain. Sejauh ini, Tiongkok masih menjadi tujuan ekspor rumput laut terbesar Indonesia, disusul Filipina, Uni Eropa dan Afrika.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News