Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri manufaktur Indonesia sedang tertekan, yang tercermin dari penurunan sejumlah indeks di sektor ini. Terbaru, laporan S&P Global mencatat Purchasing Manager’s Index (PMI) Manufaktur Indonesia bulan April 2025 anjlok ke level 46,7.
PMI Manufaktur Indonesia sudah merosot ke bawah 50, alias berada di fase kontraksi. PMI Manufaktur bulan April terjun 5,7 poin dibandingkan periode Maret 2025 yang masih berada di fase ekspansif sebesar 52,4.
S&P Global Market Intelligence mencatat bahwa kontraksi ini merupakan yang pertama dalam lima bulan di tengah penurunan tajam pada penjualan dan output. Penurunan PMI Manufaktur ini juga menjadi yang terdalam sejak Agustus 2021.
Prospek PMI Manufaktur dalam jangka pendek atau dalam beberapa bulan ke depan diperkirakan masih tertekan. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) pun buka suara merespons tekanan yang sedang menerpa industri manufaktur Indonesia.
Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arief menilai penurunan signifikan PMI menandakan optimisme pelaku industri manufaktur semakin menurun di tengah kondisi ketidakpastian. “Ada tekanan psikologis pada persepsi pelaku usaha menghadapi perang tarif global dan banjir produk impor pada pasar domestik,” ungkap Febri melalui keterangan tertulis, Jumat (2/5).
Baca Juga: Kinerja Manufaktur Tertekan di Kuartal I, Ekonom Beberkan Penyebabnya
Perlambatan PMI Manufaktur Indonesia ini sejalan dengan hasil Indeks Kepercayaan Industri (IKI) bulan April 2025 yang berdada di level 51,90. Meskipun masih di dalam fase ekspansi, tapi mengalami perlambatan dibandingkan bulan Maret 2025 yang sebesar 52,98 atau menurun sebanyak 1,08 poin.
Febri mengungkapkan, pelaku industri manufaktur di Indonesia masih wait and see. Para pelaku industri menunggu kepastian dari hasil negosiasi perwakilan Pemerintah Indonesia yang dengan pihak pemerintah Amerika Serikat (AS).
Tak hanya pemberlakuan tarif resiprokal dari Prsiden AS Donald Trump, pelaku industri juga khawatir terhadap serangan produk-produk dari sejumlah negara yang terdampak tarif Trump. Pelaku industri khawatir Indonesia menjadi pasar alternatif yang akan mendapat muntahan barang-barang impor.
Febri bilang, sudah banyak pelaku industri maupun asosiasi yang telah menyampaikan keluhan ke Kemenperin atas kondisi ketidakpastian saat ini. “Mereka menunggu kebijakan-kebijakan strategis dari pemerintah dalam memberikan perlindungan kepada industri dalam negeri untuk bisa berdaya saing di pasar domestik,” ungkap Febri.
Dari sisi struktur produksi, sekitar 20% produk industri nasional terserap oleh pasar ekspor Sementara itu, pasar dalam negeri masih mendominasi. Sebanyak 80% produk industri diserap oleh pasar domestik yang mencakup belanja pemerintah, swasta, dan rumah tangga.
Febri mengklaim, Kemenperin siap untuk mendorong optimisme dan suasana industri yang kondusif. Hanya saja, perlu dukungan dari seluruh pelaku kepentingan (stakeholders), termasuk dari Kementerian dan Lembaga (K/L) terkait.
"Perlunya dukungan dari stakeholders terkait terutama dari K/L lain penentu kebijakan, untuk dapat segera menerbitkan kebijakan-kebijakan yang pro-investasi dan pro terhadap perlindungan industri dalam negeri. Jangan sampai permintaan pasar domestik yang sudah turun malah diisi oleh barang-barang impor,” tegas Febri.
Dibandingkan negara-negara peers, penurunan PMI manufaktur Indonesia termasuk yang paling dalam. Di ASEAN misalnya, PMI manufaktur Filipina masih berada di fase ekspansif. Selain dampak dari kebijakan tarif Trump yang tidak begitu signifikan, kebijakan perlindungan pasar dalam negeri di Filipina pun cukup afirmatif.
Berdasarkan laporan S&aP Global, PMI manufaktur di sejumlah negara mengalami kontraksi pada April 2025. Antara lain Thailand (49,5), Malaysia (48,6), Jepang (48,5), Jerman (48,0), Taiwan (47,8), Korea Selatan (47,5), Myanmar (45,4), dan Inggris (44).
Selain itu, performa manufaktur China juga layak diperhatikan. Meskipun PMI manufaktur China berada di fase ekspansi (50,4), tetapi mengalami perlambatan dibanding bulan sebelumnya.
Catatan Pelaku Usaha dan Ekonom
Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Abdul Sobur menyoroti tiga faktor yang menjadi tantangan industri, khususnya di sub-sektor mebel dan kerajinan. Pertama, penurunan permintaan global dan domestik, yang membuat pelaku industri bersikap wait and see akibat ketidakpastian.
Kedua, kenaikan biaya produksi. Termasuk dari sisi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Upah Minimum Provinsi (UMP), yang menambah beban biaya, terutama bagi Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Ketiga, persaingan dengan produk impor.
Meski begitu, Abdul masih melihat peluang bagi perbaikan kinerja industri mebel dan kerajinan. "Tentunya bila dengan dukungan pemerintah yang masif, adanya inovasi produk, dan perluasan pasar ekspor dengan subsidi pemerintah untuk masuk ke pasar non-tradisional," kata Abdul kepada Kontan.co.id, Jumat (2/5).
Sementara itu, Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menyoroti dua faktor yang memukul industri manufaktur. Pertama, efek perang tarif yang mengakibatkan penurunan permintaan produk secara global, termasuk dari Indonesia.
Kedua, pelemahan permintaan domestik yang disebabkan oleh daya beli yang belum membaik. Huda mengingatkan risiko dari penurunan utilitas industri manufaktur, yang berpotensi masih bisa berlanjut.
Jika tidak ditangani secara serius, dampak dari situasi ini akan membuat permintaan terhadap tenaga kerja berkurang. Dus, potensi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akan kembali meningkat.
Salah satu yang bisa dilakukan pemerintah adalah menggenjot industri melalui belanja pemerintah. "Alokasi belanja yang banyak dinikmati oleh industri dalam negeri tidak boleh terkena efisiensi yang terlampau dalam," kata Huda.
Huda juga menekankan agar pemerintah serius menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi investor dalam negeri maupun luar negeri. Termasuk dengan memberantas berbagai bentuk pungutan liar (pungli) dan aksi premanisme.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal sepakat, penurunan indeks-indeks manufaktur mesti menjadi alarm bagi pemerintah. Apalagi, tekanan sedang datang dari dua sisi, baik dari pasar ekspor maupun domestik.
Tekanan pada industri manufaktur bisa terus berlanjut pada kuartal II-2025, bahkan di sisa tahun ini, jika pemerintah tidak segera merespons. Menurut Faisal, pemerintah perlu memprioritaskan kebijakan yang bisa memperkuat ekonomi domestik atau daya beli masyarakat.
Pemerintah juga mesti mencabut akar masalah di tingkat birokrasi, yakni ketidaksinkronan antar K/L. "Misalnya kebijakan industri dengan perdagangan mengenai ekspor-impor seringkali tidak sinkron. Ini perlu diperhatikan lebih serius, supaya bisa menjawab keluhan dari para pelaku industri," tandas Faisal.
Baca Juga: Pasar Saham Beranjak Pulih, Sell in May and Go Away Bakal Terjadi?
Selanjutnya: Kinerja Manufaktur Tertekan di Kuartal I, Ekonom Beberkan Penyebabnya
Menarik Dibaca: SLB Resmikan Fasilitas OneSubsea di Balikpapan, Fokus Perkuat Industri Bawah Laut
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News