Reporter: Dimas Andi | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia punya peluang untuk mengoptimalkan ekspor minyak jelantah atau minyak goreng bekas ke luar negeri, khususnya Eropa. Hal ini seiring tingginya minat Eropa terhadap produk tersebut sebagai bahan baku biodiesel.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga menyebut, berdasarkan perkiraan GIMNI, jumlah minyak jelantah di Indonesia saat ini berkisar 18%--22% dari total pemakaian minyak goreng biasa. Jadi, jika pemakaian minyak goreng biasa berkisar 5,8 juta ton per tahun, maka volume minyak jelantah berkisar 1,1 juta ton per tahun.
Sebagian minyak jelantah tersebut diekspor ke berbagai negara, termasuk Eropa. Sayangnya, GIMNI tidak memiliki data jumlah ekspor minyak jelantah Indonesia. Yang terang, ekspor tersebut dilakukan dalam volume yang besar. Adapun ekspor minyak jelantah dilakukan untuk kebutuhan bahan baku biodiesel, khususnya di Eropa.
Minyak jelantah sendiri dipandang sebagai subtitusi dari minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) untuk bahan baku biodiesel.
Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudistira menyampaikan, selain untuk kebutuhan industri makanan dan minuman, minyak jelantah telah teruji untuk dipakai sebagai bahan bakar biodiesel.
Baca Juga: Punya potensi untuk biodiesel, minyak jelantah justru kerap dioplos di dalam negeri
Ia pun mencontohkan, tahun 2008 lalu publik Amerika Serikat pernah dikejutkan oleh bus St. Cloud yang bahan bakarnya berasal dari sisa minyak goreng alias minyak jelantah. “Kalau Indonesia bisa ekspor minyak jelantah siap pakai untuk transportasi tentu sangat bagus. Teknologinya sudah memungkinkan untuk mesin yang menggunakan biodiesel dari minyak jelantah,” ungkap dia, Kamis (17/6).
Dia menambahkan, sebisa mungkin minyak jelantah asal Indonesia bisa masuk ke negeri tujuan ekspor di luar Uni Eropa dan AS. Beberapa negara seperti India, Pakistan, dan China bisa dilirik mengingat mereka tidak memiliki hambatan dagang setinggi Uni Eropa.
Sementara itu, Pengamat Pertanian Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori berpendapat, apabila memang ekspor minyak jelantah Indonesia ke Eropa benar adanya, maka hal ini menunjukkan sikap mendua negara-negara di Benua Biru tersebut. Pasalnya, di saat yang sama Eropa juga memboikot CPO Indonesia dengan berbagai alasan terkait isu keberlanjutan lingkungan dan sosial.
“Tampak sekali bahwa alasan boikot itu bukan benar-benar seperti yang mereka tuduhkan selama ini,” ujar dia, Kamis (17/6).
Di sisi lain, dia juga mengaku bahwa peluang ekspor minyak jelantah memang ada. Sebab, harga CPO yang merupakan asal dari minyak jelantah tengah dalam tren menanjak sepanjang tahun 2021.
Khudori juga menyebut, ada baiknya dijajaki pula peluang penggunaan minyak jelantah untuk kebutuhan biodiesel di dalam negeri. Hanya saja, hal seperti itu harus benar-benar dikaji secara matang. Ini mengingat suplai CPO di dalam negeri sebagai bahan baku biodiesel masih melimpah. Ditambah lagi, patut dipertimbangkan juga apakah pabrik-pabrik biodiesel yang ada perlu memodifikasi mesin atau tidak agar bisa memproses minyak jelantah.
Bhima sepakat bahwa minyak jelantah juga bisa dioptimalkan di dalam negeri untuk diolah menjadi biodiesel. Tak hanya untuk kebutuhan transportasi, melainkan juga pembangkit listrik. Namun, hal ini tentu membutuhkan insentif yang berkaitan dengan konversi teknologi pembuatan biodiesel dari minyak jelantah.
“Kalau untuk makanan tidak direkomendasikan karena polemik soal dampak kesehatan, tapi untuk biodiesel tentu minyak jelantah ini sangat cocok,” pungkas dia.
Selanjutnya: Penjualan bersih Sinar Mas Agro (SMAR) naik 15,39% pada kuartal I, ini pendorongnya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News