Reporter: Filemon Agung | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Masyarakat Energi Biomassa Indonesia (MEBI) menyambut positif penerbitan regulasi harga patokan bahan bakar biomassa untuk cofiring pembangkit batubara.
Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2023 tentang Pemanfaatan Bahan Bakar Biomassa Sebagai Campuran Bahan Bakar pada PLTU.
Ketua Umum MEBI Milton Pakpahan mengungkapkan, sejumlah ketentuan dalam aturan terbaru bertujuan mendorong pemanfaatan biomassa. Pihaknya pun mengapresiasi langkah pemerintah.
Baca Juga: Tetapkan Harga Patokan Biomassa Co-Firing, Menteri ESDM: Skala Keekonomiannya Menarik
Meski demikian, upaya mengerek pemanfaatan biomassa dinilai masih dihadapkan pada sejumlah tantangan.
"Terutama dari pasokan sumber biomassa yang belum optimal dan persaingan dengan kebutuhan ekspor yang memiliki harga lebih menarik," ungkap Milton kepada Kontan, Jumat (22/12).
Milton melanjutkan, tantangan juga dihadapi PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebab harga biomassa umumnya lebih tinggi ketimbang harga batubara.
Milton mengungkapkan, kehadiran regulasi yang baru ini bakal turut mendorong pemanfaatan biomassa. Ini tercermin dari rencana pemerintah yang tertuang dalam lampiran beleid tersebut dimana pemanfaatan biomassa bakal meningkat ke depannya.
Pada tahun ini, jumlah bahan bakar biomassa ditargetkan mencapai 1,05 juta ton lalu meningkat menjadi 2,83 juta ton pada 2024 dan kembali naik signifikan hingga 10,20 juta ton pada 2025 mendatang. Selanjutnya, pemanfaatan biomassa hingga 2030 ditargetkan mencapai di atas 9 juta ton.
Menurutnya, pemanfaatan biomassa berpotensi melebih target pasalnya masih ada ruang untuk implementasi cofiring pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) milik swasta.
Baca Juga: Menteri ESDM Tetapkan Harga Patokan Bahan Bakar Biomassa untuk Cofiring PLTU
"Kami memperkirakan kebutuhan produk bahan bakar biomassa akan mencapai 100 juta ton per tahun pada tahun 2030. Namun harus disikapi dan diantisipasi dengan baik oleh para stakeholder," terang Milton.
Dengan kebutuhan yang tinggi, industri dihadapkan pada tantangan untuk mampu menyiapkan pasokan sesuai kebutuhan yang ada dalam waktu yang singkat.
Dari sisi harga, Milton menilai formula yang ditetapkan sudah cukup menguntungkan bagi pelaku usaha. Dengan ini, investasi untuk hutan tanaman energi dapat didorong ke depannya.
Sayangnya, formula harga yang baru hanya bisa ditetapkan untuk beberapa jenis biomassa seperti serpihan kayu, serbuk kayu dan jenis bahan bakar lain dari limbah pertanian, perkebunan dan limbah hutan serta sampah.
Formula harga yang baru belum bisa diterapkan untuk pelet kayu karena proses produksi yang khusus serta memakan biaya lebih ketimbang jenis lain. Padahal jenis bahan baku ini merupakan salah satu yang potensinya besar dan siap memenuhi standar yang ada. Selain itu, formula harga juga belum bisa diterapkan untuk cangkang sawit meskipun menjadi produk yang paling siap untuk pemenuhan pasar domestik dan ekspor.
Milton melanjutkan, implementasi biomassa untuk cofiring PLTU dihadapkan pada tantangan suplai.
Baca Juga: Industri Biomassa Butuh Lebih Banyak Dukungan Pendanaan Perbankan Nasional
"Selain cofiring PLTU, biomassa juga dimanfaatkan untuk kebutuhan energi panas untuk industri, kebutuhan Pembangkit Lstrik Tenaga Biomassa (PLTBm) dan pasar ekspor," tambah Milton.
Menurutnya, saat ini pasar ekspor dinilai masih memberikan penawaran harga yang lebih tinggi untuk biomassa ketimbang formula harga yang ditawarkan dalam aturan terbaru.
Meski demikian, kebutuhan yang tinggi di dalam negeri serta potensi pemberlakuan kontrak jangka panjang dianggap menjadi nilai jual tersendiri.
"Diperlukan kemudahan perizinan usaha lintas kementerian untuk meminimalisir biaya produksi, ongkos angkut sehingga memberikan keuntungan optimal bagi pelaku usaha," pungkas Milton.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News