kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45926,73   -926,73   -100.00%
  • EMAS1.310.000 -1,13%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Berbekal investasi US$ 560 juta, pabrik coal to methanol akan berdiri di Aceh


Selasa, 19 Oktober 2021 / 09:41 WIB
Berbekal investasi US$ 560 juta, pabrik coal to methanol akan berdiri di Aceh
ILUSTRASI. Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita. Berbekal investasi US$ 560 juta, pabrik coal to methanol akan berdiri di Aceh.


Reporter: Dimas Andi | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Industri metanol merupakan salah satu sektor prioritas yang sangat dibutuhkan untuk pengembangan industri di hilirnya. Dengan kebutuhan metanol mencapai 1,2 juta ton pada 2020, pembangunan industri gasifikasi coal to methanol diharapkan dapat berkontribusi pada substitusi impor dan pertumbuhan ekonomi nasional.

“Kerja sama pembangunan pabrik coal to methanol sangat penting bagi sektor industri. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) sangat mengapresiasi perusahaan yang memiliki satu visi untuk menginisiasi proyek gasifikasi batubara dan mendukung rencana invstasi industri pionir ini,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita yang dikutip dari siaran pers di situs Kemenperin, Senin (18/10).

Investasi proyek gasifikasi batubara tersebut diprakarsai oleh konsorsium yang terdiri dari PT Powerindo Energi (PT PCE) dari Indonesia dan China National Chemical Engineering Corporation (CNCEC) dari China. 

Pabrik tersebut rencananya akan didirikan di Meulaboh, Aceh dengan lokasi yang berada di mulut tambang pemasok batubara. Dengan nilai investasi sebesar US$ 560 juta, pabrik ini akan mengolah 1,1 juta ton batubara menjadi 600.000 ton metanol per tahun.

Baca Juga: Harga batubara melonjak, hilirisasi terus berjalan

“Proyek ini akan menyerap tenaga kerja sebanyak 600-700 orang. Berdasarkan perencanaan, proyek akan memasuki tahap konstruksi pada pertengahan tahun 2022,” jelas Agus.

MoU tersebut memiliki kontribusi yang penting dalam upaya membangun hilirisasi industri. Penguatan hilirisasi industri setidaknya memberi lima manfaat besar bagi perekonomian. Pertama, memperkuat daya saing produk hasil hilirisasi yang dapat meningkatkan ekspor, menjadi bagian dari supply chain global, serta mendorong substitusi impor.

Berikutnya, hilirisasi dapat meningkatkan penciptaan lapangan kerja dengan berkembangnya industri hilir serta ekspansi dan investasi baru yang akan menyerap lebih banyak tenaga kerja serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ketiga, sebagai bagian dari upaya memperkuat nilai tambah industri di dalam negeri yang akan memperbesar kontribusinya bagi perekonomian.

Keempat, hilirisasi akan mengakselerasi transfer teknologi di Indonesia. Spillover dari teknologi ini bisa menumbuhkan iklim kewirausahaan dan inovasi-inovasi baru. ”Selanjutnya, hilirisasi dapat meningkatkan substitusi impor yang akan menekan defisit neraca perdagangan," imbuh Menperin.

Pada tahun 2020, nilai ekspor bahan kimia dan barang dari bahan kimia mencapai US$ 11,85 miliar, sedangkan nilai impornya mencapai US$ 18,25 miliar. Dengan demikian ada defisit sebesar US$ 6,4 miliar. Agus menambahkan, dengan kondisi neraca perdagangan ini, perlu upaya untuk mempercepat peningkatan investasi di sektor kimia.

Baca Juga: Gas bumi memiliki peran strategis dalam proses transisi ke renewable energi

Industri kimia, termasuk di dalamnya industri metanol, merupakan salah satu sektor prioritas dalam peta jalan Making Indonesia 4.0, sehingga Kemenperin secara serius terus berupaya memperkokoh struktur industri ini. Industri metanol menempati posisi penting di industri hilir karena merupakan bahan baku atau bahan penolong pada industri tekstil, plastik, resin sintetis, farmasi, insektisida, plywood, dan industri lainnya.

Metanol juga digunakan sebagai bahan campuran untuk pembuatan biodiesel. Selain itu, metanol bisa diolah lebih lanjut menjadi DME yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar.

Dengan berkembangnya industri hilir pengguna metanol, nilai substitusi impor dari metanol akan semakin besar. Sebagai contoh, pada industri resin sintetik yang merupakan bahan baku atau bahan penolong pada industri seperti cat, tekstil, adhesive, maupun thinner. Sebagian kebutuhan resin sintetik di dalam negeri diperoleh dari impor. Impor resin sintetik pada tahun 2020 mencapai 700.000 ton dengan nilai sebesar US$ 1,5 miliar.

Kemudian, pemerintah juga tengah mendorong substitusi penggunaan bahan bakar LPG dengan DME, mengingat produksi LPG setiap tahun semakin menurun. Lebih dari 75% kebutuhan LPG dalam negeri dipenuhi dari impor dengan nilai mencapai US$ 2,5 miliar di tahun 2020.

“Dengan gambaran tersebut, keberadaan proyek gasifikasi batubara setidaknya memberikan potensi subtitusi impor minimum sekitar Rp 40 Triliun per tahun,” papar Agus.

Selain itu, saat Menperin melakukan kunjungan kerja ke Jepang Maret 2021 lalu dan bertemu dengan Menteri Industri Jepang, disampaikan bahwa negara tersebut akan melakukan investasi di industri metanol dalam skala besar demi mengejar target carbon neutrality. Hal ini menunjukkan bahwa industri metanol sangat prospektif dalam pengembangan pasar, baik pasar domestik maupun ekspor.

Baca Juga: Sengkarut Kendala Pemanfaatan Gas Bumi, PLN Bimbang Pilih EBT atau Gas Bumi

Keberadaan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja serta UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara mendukung kemudahan berusaha dan meningkatkan kelayakan investasi di sektor pertambangan dan hilirisasi batubara.

“Dengan regulasi ini, proyek gasifikasi batubara dapat memanfaatkan insentif berupa pengurangan tarif royalti batubara hingga 0%, skema harga batubara khusus untuk gasifikasi batubara di mulut tambang, dan pemberian jangka waktu khusus izin usaha pertambangan (IUP) untuk kegiatan gasifikasi batubara yang terintegrasi,” terang Menperin.

Pemerintah Indonesia juga terus berupaya menciptakan iklim usaha industri yang baik, menguntungkan, dan berkesinambungan melalui berbagai kebijakan sehingga investasi dapat terus bertumbuh dan meningkatkan kekuatan ekonomi. “Kemenperin akan senantiasa mendampingi pelaksanaan proyek ini dan membantu mengatasi permasalahan teknis yang muncul,” ujar Agus.

Baca Juga: Pertamina targetkan kontribusi EBT meningkat hingga 17% pada tahun 2030

Sementara itu, Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kemenperin Muhammad Khayam menyampaikan, metanol yang dihasilkan dari proyek ini diharapkan dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri yang selama ini diperoleh dari impor.

“Saat ini Indonesia hanya memiliki satu produsen metanol dengan kapasitas sebesar 660.000 ton per tahun, sementara impor produk metanol setiap tahunnya menunjukkan peningkatan akibat dari pertumbuhan industri pengguna metanol dan untuk mendukung program biofuel,” ungkap Khayam.

Selain di lokasi tersebut, pemerintah juga mendorong realisasi proyek-proyek gasifikasi batubara yang sedang berlangsung, yaitu pabrik coal to chemical di Tanjung Enim dan Kutai Timur. Proyek coal to methanol juga didukung oleh ketersediaan sumber daya batubara yang melimpah. Cadangan batubara nasional mencapai 38,84 miliar ton dan dapat bertahan hingga 2091 dengan laju produksi tahunan sebesar 600 juta ton.

Selanjutnya: Perusahaan tambang batubara gencar garap proyek hilirisasi dan energi hijau

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×