kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45887,73   13,33   1.52%
  • EMAS1.365.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Berpotensi Sumbang PDB US$ 478 Miliar, IPA Ungkap Urgensi Penerapan CCS di Indonesia


Kamis, 27 Juni 2024 / 16:14 WIB
Berpotensi Sumbang PDB US$ 478 Miliar, IPA Ungkap Urgensi Penerapan CCS di Indonesia
ILUSTRASI. Indonesian Petroleum Association (IPA) mengungkapkan pentingnya penerapan teknologi penangkap dan penyimpanan karbon. REUTERS/Wolfgang Rattay/File Photo


Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesian Petroleum Association (IPA) mengungkapkan pentingnya penerapan teknologi penangkap dan penyimpanan karbon, atau carbon capture and storage (CCS).

Direktur Eksekutif IPA, Marjolijn Wajong, menyatakan bahwa industri hulu migas saat ini dituntut untuk mengurangi emisi karbon. Dengan adanya kebijakan dan peraturan yang mendukung, industri migas di masa transisi energi ini akan menerapkan CCS untuk mengurangi emisi karbon dan mencapai target Net Zero Emission (NZE).

Chief of Infographic Sub Committee IPA Convex 2024, Hendra Halim, menekankan bahwa CCS adalah cara paling efektif untuk mengurangi emisi karbon dan meningkatkan perekonomian Indonesia.

Menurut data yang disusun oleh IPA, CCS dapat meningkatkan Produk Domestik Bruto sekitar US$ 478 miliar dan membuka lebih dari 53.000 lapangan pekerjaan hingga tahun 2050.

“Setiap 1 juta ton karbon yang ditangkap melalui CCS dapat menciptakan nilai ekonomi hingga Rp 4 triliun dan menambah kurang lebih 1.000 lapangan pekerjaan,” kata Hendra dalam Media Briefing IPA Convex 2024 yang diadakan di Jakarta, Rabu (26/6).

Baca Juga: Aturan Turunan Carbon Capture Storage (CCS) Tengah Dikebut

Hendra menuturkan bahwa Indonesia saat ini memiliki potensi besar untuk menjadi pemimpin regional dalam penerapan teknologi CCS. Oleh karena itu, ia mengharapkan agar seluruh pihak di Indonesia tidak hanya bersikap wait and see. “Jangan sampai ide yang berasal dari Indonesia justru disalip oleh negara lain,” tambahnya.

Pasalnya, negara tetangga seperti Malaysia sudah lebih siap dalam implementasi CCS.

Hendra juga menekankan bahwa Indonesia memiliki keuntungan geologis dengan banyaknya lokasi penyimpanan karbon dan industri migas yang berpengalaman. Ia yakin bahwa Indonesia dapat menjadi hub CCS di regional, namun ini membutuhkan kolaborasi yang tepat antara pemerintah dan industri migas.

Ia menjelaskan ada empat prioritas utama dalam kolaborasi ini: peraturan pelaksana CCS yang komprehensif, perjanjian lintas batas CO2, harga karbon, dan insentif CCS. Pemerintah harus fokus pada kemudahan berbisnis, kepercayaan investor, dan kepercayaan pemangku kepentingan.

Deputy Chief of Infographic Sub-Committee, Rina Rudd, menambahkan bahwa industri hulu migas masih sangat potensial di masa depan mengingat kebutuhan energi yang terus meningkat.

Rina menjelaskan bahwa gas bumi menjadi salah satu solusi untuk memenuhi kebutuhan energi yang rendah emisi karbon. Terlebih lagi dengan dua temuan besar sumber daya gas di Geng North oleh Eni Indonesia dan Layaran oleh Mubadala Energy Indonesia.

“Kita harus segera memonetisasi potensi gas tersebut agar bisa memberikan dampak ekonomi dan lingkungan ke depan,” kata dia.

Sekadar informasi, Komite IPA Convex 2024 sebelumnya telah menerbitkan buku Infografik dan menyerahkannya kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada saat acara Pembukaan IPA Convex 2024 beberapa waktu lalu.

Secara garis besar, buku Infografik ini memberikan penjelasan menyeluruh tentang CCS, baik secara global maupun dalam konteks di Indonesia. Penerbitan Infografik tentang CCS ini merupakan tindak lanjut dari penerbitan IPA White Paper pada tahun 2023 lalu.

Menurut catatan Kontan, sejumlah Kementerian tengah menyusun aturan turunan mengenai CCS. Direktur Teknik dan Lingkungan Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM, Noor Arifin Muhammad, mengatakan bahwa aturan turunan CCS masih dalam proses dan diharapkan selesai dalam dua hingga tiga bulan ke depan sejak awal Mei.

Saat ini, regulasi turunan ini masih dalam proses harmonisasi penyusunan internal Kementerian ESDM bersama kementerian lainnya.

Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kemenkomarves, Jodi Mahardi, mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan beberapa peraturan terkait CCS, termasuk Peraturan Menteri ESDM No 2 Tahun 2023 dan Peraturan Presiden No 14 Tahun 2024, serta 4 Standard Nasional Indonesia (SNI) mengenai CCS.

"Saat ini, beberapa Kementerian sedang menyusun peraturan turunan dari Peraturan Presiden No 14 Tahun 2024, contohnya Kementerian ESDM. Dan Kemenko Marves akan menjadi koordinator dalam percepatan penyusunan peraturan turunan tersebut," kata Jodi kepada KONTAN, Jumat (31/5).

Baca Juga: Menteri ESDM: Kelanjutan Kebijakan HGBT Tergantung Temuan Gas

Jodi menyebutkan bahwa terdapat sekitar 15 pre-project CCS/CCUS di Indonesia dengan total investasi US$ 28 miliar. Proyek-proyek ini dilakukan oleh sektor publik dan swasta, serta kerjasama antara kedua sektor tersebut, dengan beberapa perusahaan seperti Pertamina, Exxon, BP, Chevron, Inpex, Petronas, Medco, dan Repsol.

Beberapa pre-project ini menunjukkan bahwa CCS merupakan solusi dekarbonisasi yang paling terbukti secara teknologi dan signifikan dalam mengurangi CO2.

"Dan juga telah banyak industri yang akan memproduksi produk rendah karbon yang memerlukan penerapan teknologi CCS," ujar Jodi.

Menurut Jodi, penurunan produksi migas saat ini memberikan potensi besar kepada bisnis CCS/CCUS karena perusahaan migas harus melakukan CCS agar dapat terus beroperasi dan melakukan eksplorasi wilayah baru.

Selain itu, produksi migas yang terus berjalan menyebabkan lapisan yang menghasilkan minyak dan gas menjadi tersedia untuk tempat penyimpanan CO2, karena minyak dan gasnya diproduksi sehingga memberikan ruang kosong untuk penyimpanan CO2.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×