Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah segera menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang perlakuan perpajakan dan/atau Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dalam bidang usaha pertambangan batubara. Dalam PP yang ditargetkan akan berlaku pada awal tahun 2019 ini, pengusaha batubara khususnya pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang akan berubah status menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) akan menikmati perpajakan dengan skema nail down alias persentase pajak yang bersifat tetap.
Hal itu dikemukakan oleh Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Rofianto Kurniawan. Namun, ia mengatakan, tak berarti semua pajak untuk bidang usaha batubara berlaku skema nail down. Sebab beberapa komponen penerimaan negara ini pun juga memakai skema prevailing alias tarif bisa berubah mengikuti perubahan peraturan.
Sayang, Rofianto tidak menjelaskan secara detail mana saja dalam PP ini yang komponen penerimaan negaranya bersifat nail down, dan mana saja yang berskema prevailing. Yang jelas, ia menandaskan bahwa PP ini akan segera terbit pada awal tahun depan. “PP-nya mudah-mudahan bisa segera terbit, awal tahun 2019. Beberapa pajak nail down dan beberapa prevailing,” katanya saat dihubungi Kontan.co.id, Selasa (25/12).
Adanya kepastian dan kestabilan perpajakan memang diidamkan oleh para pemegang PKP2B yang kelak akan menjadi IUPK. Apalagi, perlakuan yang sama juga diberikan kepada PT Freeport Indonesia (PTFI) yang pada Jumat (21/12) lalu telah berhasil mendapatkan perpajakan dengan skema nail down seiring dengan terbitnya IUPK yang memungkinkan PTFI beroperasi hingga tahun 2041.
“Karakteristik investasi pertambangan minerba itu jangka panjang. Perusahaan mineral dan batubara juga sama inginkan stabilisasi perpajakan. Nah, dengan perubahan rezim dimana eks pemegang PKP2B akan dikonversi jadi IUPK, tentunya pemberian stabilisasi perpajakan seperti di mineral juga perlu,” jelas Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia.
Hendra menambahkan, karakteristik investasi pertambangan itu padat modal, jangka panjang, dan memiliki risiko tinggi, baik risiko volatilitas harga komoditas, risiko geologi maupun risiko politik. Sementara besar atau kecilnya investasi di sektor pertambangan ini, akan sangat bergantung pada seberapa bisa regulasi memberikan kepastian hukum dan aturan perpajakan yang stabil.
Menurut Hendra, skema nail down yang memberikan kepastian tetap dalam jangka panjang itu lebih diminati investor. “Skema perpajakan dalam KK dan PKP2B itu diminati oleh investor tambang karena memberikan kepastian. Kenapa PKP2B generasi 1 tarif pajaknya 45% selama 30 tahun, itu karena sistem nail down memberikan kepastian jangka panjang,” kata Hendra.
Hal senada juga disampaikan oleh Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi, yang menekankan bahwa peraturan perpajakan harusnya diberlakukan untuk semua perusahaan tambang. Tanpa ada pengecualian atau keistimewaan terhadap perusahaan tertentu, termasuk untuk Freeport Indonesia.
Tujuannya, selain memperhitungkan pendapatan negara yang lebih besar, baik dalam bentuk royalti maupun pajak, regulasi perpajakan yang jelas juga penting untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif di sektor pertambangan. “Memang ada karakteristik berbeda antara batubara dengan mineral.
Tapi menurut saya lebih simple diberlakukan sama untuk pajak, tanpa ada pengecualian, termasuk Freeport, tidak boleh diistimewakan,” kata Fahmy.
Seperti diketahui, PP tentang perlakuan perpajakan dan/atau PNBP dalam bidang usaha pertambangan batubara ini nantinya akan terbit satu paket dengan revisi keenam PP No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Pada pokoknya, revisi dan penerbitan PP tersebut akan mengatur tentang status, izin operasi dan kewajiban perusahaan batubara terkait pajak dan penerimaan negara. Terutama bagi para pemegang PKP2B yang akan berganti status menjadi IUPK. Adapun, produsen batubara kakap yang berstatus PKP2B generasi I yang kontraknya bakal habis dalam kurun waktu 2019 hingga 2026 mendatang adalah sebagai berikut:
PT Tanito Harum yang kontraknya akan habis pada 14 Januari 2019, PT Arutmin Indonesia yang kontraknya akan berakhir pada 1 November 2020, PT Kendilo Coal Indonesia yang Perjanjiannya akan berlaku hingga 13 September 2021, dan PT Kaltim Prima Coal yang masa berlaku PKP2B-nya akan habis pada 31 Desember 2021.
Selain itu, dalam daftar tersebut juga terdapat PT Multi Harapan Utama yang pada 1 April 2022 kontraknya akan berakhir. Kemudian PT Adaro Indonesia, di mana masa kontraknya akan habi spada 1 Oktober 2022, PT Kideco Jaya Agung yang kontraknya hanya sampai 13 Maret 2023, dan PT Berau Coal yang masa kontraknya akan habis pada 26 April 2025.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News