Reporter: Filemon Agung | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkapkan penerapan skema kontrak bagi hasil gross split di industri migas berpotensi mengurangi penerimaan negara.
Ketua BPK Agung Firman Sampurna bilang sedianya penerapan skema gross split dijalankan karena keinginan pemerintah mengurangi tahapan birokrasi yang ada pada skema cost recovery.
Sayangnya, kondisi cadangan migas di Indonesia tidak sebanding dengan negara-negara lain yang memiliki cadangan lebih besar.
"Satu hal yang dilupakan bahwa cadangan di Indonesia tidak sebesar di Venezuela dan Arab Saudi sehingga penerapan GS terlalu besar atau terlalu sedikit," ujar Agung dalam diskusi virtual bersama Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Rabu (4/11).
Baca Juga: Pemerintah upayakan implementasikan kebijakan percepatan transisi energi
Agung menjelaskan, dalam praktiknya para Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) menilai kebijakan ini tidak menguntungkan sehingga tidak menarik bagi para investor.
Selain itu, penerapan gross split dinilai cenderung tergesa-gesa. Hal ini tercermin dari penerbitan regulasi-regulasi pendukung dalam waktu yang berurutan.
Pemerintah menerbitkan Permen ESDM No. 52 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Permen ESDM No. 08 Tahun 2017 Tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split dimana ada diskresi tambahan split tidak terbatas. Namun para KKKS dalam hitung-hitungannya menilai hal ini tidak menguntungkan.
"Lalu ada Permen 12/2020 KKKS bisa pilih GS atau CR. Ini sebuah gambaran ada satu titik ketergesa-gesaan saat kebijakan dibuat," kata Agung.
Ia menambahkan, skema gross split berpotensi menurunkan penerimaan pajak pemerintah jika biaya meningkat sebab tidak dikenakannya skema cost recovery.
Di sisi lain, skema gross split juga dinilai minim pengawasan. Penurunan penerimaan pajak pemerintah berpotensi terjadi sebab praktik transfer pricing rawan terjadi dilakukan induk usaha ke anak usaha.
"Jadi berlapis dampaknya, hasil penerimaan negara bahkan bisa berkurang dan di sektor perpajakan juga alami pengurangan," tegas Agung.
Pihaknya pun berharap, skema kontrak bagi hasil dapat lebih beragam nilainya dimana manfaat yang diperoleh tidak berbatas pada bagi hasil dan hal-hal non pajak semata namun juga penguatan peran SKK Migas untuk pengawasan.
Baca Juga: Pertamina terus lakukan transformasi digital untuk menjawab tantangan zaman
"SKK Migas dapat awasi satu kegiatan. Misalnya penggunaan baja tidak boleh impor, pakai lokal. Dengan mendorong pola ini, adanya multiflier effect, jadi partisipasi SKK Migas bisa lebih banyak," ujar Agung.
Sekedar informasi, hingga saat ini tercatat ada 45 blok migas yang mengadopsi skema gross split. Dalam ketentuannya bagi hasil untuk produksi minyak ditetapkan sebesar 57 untuk pemerintah dan 43 bagi kontraktor. Sementara untuk produksi gas bagi hasil yang dikenakan sebesar 52 untuk pemerintah dan 48 bagi kontraktor.
Selanjutnya: Arcandra: Pembangunan infrastruktur migas harus didukung pasokan dan pasar terukur
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News