Reporter: Benediktus Krisna Yogatama | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Rencana pemerintah melarang peredaran minuman beralkohol lewat minimarket akan menurunkan produksi minuman beralkohol. Sebab, 12% penjualan minuman beralkohol ini berasal dari minimarket.
Bambang Britono, Executive Member Committee Executive Grup Industri Minuman Malt Indonesia (GIMMI), mengatakan penurunan produksi terjadi karena kurangnya distribusi. “Dampaknya akan panjang,” kata Bambang di Jakarta, Rabu (18/2).
Diantara dampaknya itu adalah, penurunan kinerja perusahaan produsen dan turunnya kinerja perusahaan mitra yang selama ini mendistribusikan. “Pabrik mengeluh line produksi turun, bagian distribusi juga mengeluh karena pengiriman berkurang,” tegas Bambang.
Tak hanya itu, GIMMI mencatat banyaknya pengembalian minuman alkohol dari pihak minimarket. Akibatnya, stok minuman milik produsen menumpuk di gudang.
Larangan menjual minuman beralkohol di minimarket ini diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan No 6/2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol. Beleid yang diteken 6 Januari ini berlaku efektif mulai 16 April 2015.
Karena aturan ini belum efektif, membuat Bambang belum bisa memperkirakan besar kerugian produsen. Bambang hanya mengingatkan, pembatasan minuman beralkohol ini bisa meningkatkan peredaran minuman beralkohol ilegal. “Dampaknya akan besar, konsumsi minuman alkohol ilegal atau oplosan bisa naik," terang Bambang.
Soal dampak ini, Bambang berharap pihak pemerintah melakukan audiensi dengan pelaku bisnis minuman beralkohol ini. "Kami juga ingin mengklarifikasi aturan ini ke Kementerian Perdagangan," kata Bambang.
Cukai akan naik
Industri minuman beralkohol ini adalah salah satu industri yang diatur ketat di Indonesia. Menurut Bambang, ada setidaknya 35 peraturan mulai dari Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), Peraturan Presiden (Perpres) sampai Peraturan Menteri yang mengatur minuman beralkohol ini. “Ditambah lagi 200 peraturan daerah (perda), yang membuat bisnis alkohol diatur ketat di Indonesia," keluh Bambang.
Salah satu perusahaan yang terkena dampak aturan ini adalah, PT Multi Bintang Indonesia Tbk (MLBI). Adanya aturan ini, membuat produsen Bir Bintang, Heineken, Bintang Zero, dan Green Sands ini tak bisa lagi mendistribusikan produknya ke minimarket. "Shift kerja produksi kami jadi turun," ujar Bambang yang juga menjabat sebagai direktur di MLBI.
Sayangnya, Bambang tak menyebutkan berapa potensi penurunan produksi. Ia hanya memberikan gambaran, distribusi minuman beralkohol ke minimarket berkontribusi 12% dari total pasar industri ini. Sisanya berasal dari restoran, hotel, dan tempat hiburan.
Tak hanya soal distribusi saja yang menjadi keluhan GIMMI. Mereka juga mengeluhkan rencana pemerintah yang ingin menaikkan tarif cukai minuman beralkohol. Meski belum ditetapkan, namun rencana itu bisa menaikkan harga minuman beralkohol. "Kontribusi cukai dari kami mau naik, tapi pasar kami ditutup," keluh Charles Poluan, Executive Director GIMMI.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News