Reporter: Pulina Nityakanti | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Raksasa properti China Evergrande Group diperintahkan Pengadilan Hong Kong untuk melakukan likuidasi aset seusai gagal melakukan restrukturisasi utang.
Akibat masalah perdagangan saham China Evergrande, China Evergrande New Energy Vihicle Group dan Evergrande Property Services dihentikan.
Dampak bangkrutnya perusahan properti terbesar China itu diyakini tidak akan merembet ke Indonesia.
Corporate Secretary PT Steel Pipe Industry of Indonesia Tbk (ISSP) Johannes W. Edward mengatakan, kasus Evergrande sebenarnya sudah lama.
“Properti meskipun signifikan bukan satu-satunya konsumen baja. Terlihat harga baja sudah mengalami penguatan dibandingkan bulan September lalu,” katanya kepada Kontan, Selasa (30/1).
Baca Juga: Evergrande Harus Likuidasi, Kreditur Cemas Duit Tak Kembali
Menurut Johannes, ekspor baja mereka ke China tidak terlalu besar, sehingga tidak akan berdampak signifikan terhadap kinerja Perseroan di tahun ini.
Manajemen ISSP pun menargetkan volume penjualan ekspor di tahun ini mencapai 30.000 ton atau setara porsi 8%-10% terhadap total penjualan perusahaan.
Di sisi lain, kondisi pasar baja global saat ini sebenarnya cukup menarik. Harga baja tertahan karena tingginya harga bahan baku, yaitu iron ore dan coking coal.
“Sementara, permintaan tetap tumbuh perlahan, karena ditopang industri lain selain property. Electric vehicle misalnya,” ungkapnya.
Direktur Ciputra Development Harun Hajadi mengatakan, keruntuhan Evergreen disebabkan karena agresivitas perusahaan dalam berutang untuk melakukan ekspansi.
“Padahal situasi ekonomi selalu naik turun, sehingga seharusnya para pengembang bisa sedia payung sebelum hujan,” ujarnya kepada Kontan, Selasa (30/1).
Baca Juga: Bursa Asia Mayoritas Menguat, Bursa Hongkong Anjlok Terseret Evergrande
Masalah tersebut pun diharapkan dampaknya terjadi di China saja dan tidak sampai menular ke negara-negara lain. Harun melihat, sampai saat ini, CTRA sebagai salah satu perusahan properti, belum merasakan dampak dari kasus Evergreen di Indonesia.
“Namun, mungkin dampaknya memang tidak terlalu besar, karena kondisi ekonomi domestik cukup kuat, reserve cukup, inflasi rendah, dan pertumbuhan ekonomi masih sekitar 5%,” tuturnya.
Harun juga melihat, di tahun ini tidak akan ada banyak sentimen negatif yang akan berdampak ke kinerja CTRA. Misalnya, suku bunga The Fed saat ini masih tinggi, tetapi inflasi di Amerika Serikat (AS) sudah mulai terkontrol.
“Tidak ada sentimen negatif tahun ini, kecuali jika Pemilu 2024 ribut,” imbuhnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News