Reporter: Andri Indradie, Hendra Gunawan | Editor: Andri Indradie
JAKARTA. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang mengatasnamakan buruh menolak kenaikan harga rokok. Dua pekan terakhir, terutama di media sosial, santer berhembus wacana harga rokok naik hingga Rp 50.000 per bungkus.
Presiden KSPI Said Iqbal bilang, buruh menolak keras wacana pemerintah mengerek harga rokok dengan cara menaikkan harga cukai rokok. Inilah alasan KSPI:
Pertama, harga rokok yang mahal akan menurunkan daya beli masyarakat, terutama perokok. Setelah itu, industri rokok akan menurunkan jumlah produksi rokok dan berujung ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran. "Apalagi, 80% pekerja di industri rokok adalah outsourcing yang sudah puluhan tahun bekerja dan rentan PHK," ujar Said ke KONTAN, Senin (22/8) lewat pesan singkat.
Buruh, lanjut Said, setuju pertimbangan kesehatan menjadi prioritas. Akan tetapi, setiap kebijakan pemerintah harus komprehensif dan mempertimbangkan isu ketenagakerjaan.
Kedua, di tengah perlambatan pertumbuhan ekonomi yang berujung pada bertambahnya 800.000 lebih orang miskin serta naiknya angka pengangguran, kebijakan menaikkan cukai rokok akan menambah angka pengangguran baru yang akan menimpa 4,7 juta buruh di industri rokok. Juga, 1,2 juta petani tembakau.
"Apakah pemerintah sudah menyiapkan lapangan kerja baru dan kebijakan diversifikasi baru untuk petani tembakau? Pemerintah jangan hanya mau enak dan gampangnya saja mendapat dana tambahan cukai rokok, tapi tidak memikirkan nasib buruh di industri rokok dan petani tembakau yang akan makin suram masa depan anak dan keluarganya," tegas Said.
Ketiga, buruh tidak percaya bahwa kenaikan cukai rokok akan dipakai pemerintah dan dikonversikan untuk meningkatkan anggaran kesehatan. Buktinya, dari dulu KSPI selalu mengusulkan agar dana cukai rokok digunakan untuk meningkatkan anggaran dan memperluas jumlah penerima program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Kartu Indonesia Sehat (KIS) peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. "Tapi tidak pernah disetujui. Jangan-jangan, kebijakan menaikan harga rokok hanyalah akal-akalan menutupi kegagalan implementasi tax amnesty demi menambal defisit APBN, tapi dipakai alasan demi kesehatan rakyat padahal pola kapitalistis," cetus Said.
Para peserta program PBI BPJS Kesehatan antara lain terdiri dari PBI Jaminan Kesehatan dan bukan PBI Jaminan Kesehatan. Para penerima PBI Jaminan Kesehatan menurut Said antara lain terdiri dari orang miskin, termasuk buruh penerima upah minimum.
Keempat, mahalnya harga rokok legal tidak akan berhasil menekan konsumsi perokok karena akan memunculkan rokok selundupan dan rokok ilegal yang dijual murah. Sebab, kata Said, kita tahu pengawasan pemerintah lemah dan "mental koruptor birokrat" di tubuh instansi pemerintahan masih kuat.
Kelima, menaikkan harga rokok berarti "pemerintah menghisap darah rakyat kecil" demi menaikkan pendapatan triliunan dari cukai rokok. Sebab, mereka tahu jumlah perokok di Indonesia terbesar. Oleh karena itu, KSPI berpendapat, bukan menaikan harga rokok namun memperkuat pendidikan dan kampanye tentang bahaya merokok. Terutama, kampanye di kalangan generasi muda.
KSPI juga menuntut pemerintah menaikkan pajak penghasilan para pengusaha industri rokok sebesar-besarnya. Sebab, para pengusaha rokok merupakan orang paling kaya di Indonesia yang memberi upah buruh rendah dan mempekerjakan 80% buruh outsourcing dari total buruh yang bekerja.
Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) pun ikut unjuk suara dan siap mendatangi Ibukota DKI Jakarta. Agus Parmudji, Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) bilang, provokasi menaikkan harga rokok hingga Rp 50.000 tidak rasional. Menurutnya, pihak-pihak yang memprovokasi kenaikan harga rokok itu tak menyadari bahwa usulan tersebut akan berdampak buruk pada perekonomian, terutama industri tembakau​.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News