Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Azis Husaini
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Centre for Indonesian Resources Strategic Studies (Ciruss) menyoroti permasalahan yang dihadapi pengusaha nasional dalam mewujudkan hilirisasi pertambangan mineral dan batubara (minerba) yang telah dicanangkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 atau UU Minerba.
Direktur Ciruss Budi Santoso mengatakan, sejak dicanangkan dalam UU Minerba pada 2009 lalu, hilirisasi mengalami kegagalan pada tenggat waktu yang ditetapkan tahun 2014 dan 2017. "Dan sekarang pada tahun 2021 juga akan berpotensi mengalami hal yang sama," kata Budi dalam keterangan tertulisnya, Kamis (29/8).
Baca Juga: DPR desak pemerintah serahkan DIM revisi UU minerba agar dapat selesai dalam sebulan
Budi juga menyoroti soal rencana kebijakan pemerintah yang akan mempercepat larangan ekspor untuk bijih nikel. "Sangat disayangkan karena pemerintah seolah-olah tidak memperhatikan kepentingan jangka panjang dan ada kesan mengikuti tekanan kelompok tertentu," sambung Budi.
Menurut Budi, pemerintah seharusnya melakuan evaluasi terhadap permasalahan yang dihadapi oleh pengusaha nasional. Adapun, kesulitan pengusaha
tambang nasional untuk mewujudkan program hilirasi yang harus meliputi perijinan, teknikal (sumberdaya dan cadangan), infrastruktur, keuangan dan pasar yang secara praktik bisnis tidak memungkinkan bisa dicapai hanya dalam kurun waktu lima tahun.
"Pemerintah harus dapat mengurangi beban tersebut atau memberi kelonggaran waktu lebih fleksibel untuk memenuhi rencana sesuai dengan praktek umum kegiatan usaha dan tidak tertipu proposal yang hanya di atas kertas," ungkap Budi.
Baca Juga: Pemerintah Prioritaskan Divestasi 20% Saham INCO
Budi bilang, pengusaha nasional pada akhirnya hanya menjadi partner minoritas, yang mana tambang dipergunakan sebagai jaminan investasi pabrik pengolahan dan pemurnian. Hal ini, kata Budi, seharusnya menjadi pertimbangan pemerintah untuk membuat kebijakan yang lebih mendorong kapasitas dan kemampuan nasional. "Bukan sebaliknya, hanya karena tujuan pembuatan smelter," imbuhnya.
Selain itu, dalam praktek pemasokan bijih nikel kepada pabrik yang sudah beroperasi, diketahui adanya pengaturan harga sehingga harga jual bijih jauh di bawah harga pasar internasional. Alhasil, secara tidak langsung pemilik smelter sudah menikmati keuntungan berlipat yaitu marjin harga dengan pasar internasional dan biaya pengapalan.
Dengan kondisi tersebut, Budi menilai pemerintah perlu meninjau kembali kebijakan yang inkonsistensi, dan dapat memberi dorongan serta keperpihakan kepada pengusaha nasional. Dalam hal ini, Budi memberi lima masukan. Pertama, mengevaluasi kegagalan perusahaan nasional untuk membangun pengolahan dan pemurnian, dengan mengurangi faktor-faktor penghambat (perijinan, teknikal, infrastruktur, teknologi, keuangan dan pasar).
Baca Juga: Kementerian ESDM kantongi valuasi 4 perusahaan mineral yang akan lakukan divestasi
Kedua, meninjau kembali konsep hilirisasi yang mengikat dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk lebih mendorong ke produk hilir atau industri. Ketiga, mempercepat ditetapkannya kebijakan mineral dan batubara nasional sebelum melalukan perubahan UU atau peraturan.
Keempat, menjamin smelter yang sudah beroperasi membeli bijih nikel tidak melalui mediator sehingga harga jual dari pemilik tambang kepada smelter mendekati harga pasar internasional. Kelima, Budi menilai pemerintah juga harus mempertimbangkan masalah kegiatan ekonomi regional (daerah) yang masih mengandalkan dari kegiatan tambang.
"Agar tidak terjadi keresahan sosial apabila terjadi pemberhentian produksi karena tidak dapat menjual hasil tambangnya," tandas Budi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News