Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Azis Husaini
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Implementasi program mandatori biodiesel Indonesia semakin berkembang, pada Januari 2025 mendatang akan diterapkan B40 atau bahan bakar campuran minyak kelapa sawit (CPO) 40% dan solar 60%.
Lalu setahun setelahnya atau tahun 2026, Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) telah menargetkan penerapan B50 atau bahan bakar campuran minyak kelapa sawit (CPO) 50% dan solar 50%.
Semakin meningkatnya kebutuhan biodiesel Indonesia, Direktur Bioenergi Kementerian ESDM Edi Wibowo menyatakan bahwa untuk mempersiapkan B50, Indonesia perlu menambah 7-9 pabrik biodiesel baru.
“Perlu dibangun sekitar 7-9 pabrik lagi, atau meningkatkan kapasitas dari pabrik-pabrik yang ada,” ujar Edi dalam acara 20th International Palm Oil Conference (IPOC) yang digelar pada Kamis (7/11).
Terkait potensi untuk menambah pabrik biodiesel baru untuk mendukung mandatori B50 dan seterusnya, menurut Ketua Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (Paspi) Tungkot Sipayung mengatakan hal tersebut terbuka lebar. Tentunya disamping pilihan untuk melakukan ekspansi pada kapasitas pabrik biodiesel yang sudah ada.
"Selain dari ekspansi kapasitas pabrik biodiesel yang telah ada, pemain baru seperti PT Perkebunan Nusantara (PTPN) dan perusahaan swasta sedang dan akan masuk ke biodiesel," ungkap Tungkot saat dihubungi Kontan, Minggu (15/12).
Bicara soal kebutuhan biodiesel untuk B50, Kementerian ESDM mencatat diperlukan 19,7 juta kilo liter (kL) biodiesel. Dengan kapasitas produksi saat ini yang sekitar 15,8 juta kL, maka ada kekurangan sekitar 3,9 juta kL.
Tungkot bilang, dalam perhitungan Paspi, kebutuhan biodiesel untuk B40 tahun depan sudah tercukupi yaitu sekitar 12,9 juta kL. Namun jika dinaikan untuk B50 maka dibutuhkan biodiesel sebanyak 20,9 juta kL.
"Kapasitas pabrik biodiesel Indonesia saat ini sekitar 17,2 juta kL dari sekitar 32 perusahaan biodiesel. Jelas kita kekurangan sekitar 3 juta kL," tambahnya.
Untuk mengejar 'kekosongan' kapasitas biodiesel, menurut Tungkot hal ini tidak akan menjadi beban, sebab secara historis dalam kurun waktu 2018-2023 Indonesia tercatat mampu meningkatkan kapasitas pabrik biodiesel lebih dari dua kali lipat.
"Dari sekitar 8 juta kL di tahun 2018 menjadi sekitar 17,1 juta kL tahun 2023 atau rata-rata meningkat 1,8 juta kL per tahun," katanya.
"Dan dari data itu, Indonesia tidak kesulitan meningkatkan kapasitas pabrik biodiesel sekitar 3,6 juta atau lebih dalam jangka 2 tahun kedepan," tambahnya.
Investasi di sektor biodiesel ungkap Tungkot sebenarnya sudah didukung dengan ketersediaan bahan baku berupa CPO yang relatif besar di dalam negeri.
"New entran dan new capacity pabrik biodiesel akan mudah memasuki pabrik biodiesel jika ada kepastian kebijakan mandatori dan menguntungkan bagi produsen biodiesel, maka investasi baru untuk meningkatkan kapasitas pabrik biodiesel ini tidaklah sulit," jelasnya.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono menyatakan bahwa pengusaha kelapa sawit memiliki potensi untuk ikut berinvestasi dalam pengembangan biodiesel, meski ia juga memberikan beberapa catatan.
“Yang penting jangan sampai idle atau tidak terpakai, harus sesuai dengan pasokan bahan baku,” ujarnya saat dihubungi pada Sabtu (9/11).
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung bahkan mengatakan penambahan 7-9 pabrik biodiesel tersebut bisa dilakukan dalam kurun waktu satu tahun.
"Penambahan pabrik biodiesel sebanyak 7-9 pabrik bisa saja dilakukan dalam satu tahun, karna Indonesia sangat berpengalaman di teknologinya," ungkap Gulat saat dihubungi, Minggu (15/12).
Meski begitu, Gulat mengatakan keterlibatan petani dalam program mandatori biodisel masih minim, selain terdongkraknya harga Tandan Buah Segar (TBS) akibat permintaan domestik yang meningkat.
"Petani sawit itu faktanya hanya penjual hasil panen atau TBS saja. Supaya petani dapat menjadi pemasok Fatty Acid Methyl Ester (FAME) ke Pertamina, maka pemerintah harus menerbitkan regulasi yang mendorong ke arah tersebut," ungkapnya.
Pemain Besar Konsisten Lakukan Hilirisasi Sawit
Perkembangan produksi biodiesel di Indonesia paling terlihat sejak diterapkannya B30, yakni sebesar 8,59 juta kL sepanjang tahun 2020 bertambah menjadi 8,98 juta kL tahun 2021 dan 11,81 juta kL tahun 2022.
Meningkatnya produksi biodiesel terus berlanjut pada mandatori B-35 di Agustus 2023 lalu dengan volume 13,15 juta kL.
Berdasarkan data dari Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI) hingga 2022, terdapat total 32 perusahaan biodiesel dengan produksi mencapai 17,14 juta kL atau setara dengan nilai investasi sebesar US$ 1,78 miliar.
Nama-nama besar seperti Wilmar Grup, Musim Mas Grup, Sinarmas Grup hingga Apical Grup masih menjadi produsen biodiesel terbesar di Indonesia.
Wilmar Grup:
1. PT Multi Nabati Sulawesi - dengan kapasitas produksi 475.862 kL/tahun.
2. PT Multimas Nabati Asahan - dengan kapasitas produksi 568.966 kL per tahun.
3. PT Wilmar Bioenergi Indonesia - dengan kapasitas produksi 1.603.448 kL per tahun.
15. PT Wilmar Nabati Indonesia - dengan kapasitas 2.250.000 kL per tahun.
Sinarmas Grup:
1. PT Sinarmas Bio Energy - dengan kapasitas 455.400 kL/tahun.
2. PT Smart Tbk - dengan kapasitas 440.517 kL/tahun.
Lalu, Apical Grup melalui PT Kutai Refinery Nusantara - dengan kapasitas 1.143.247 kL/tahun.
Musim Mas melalui PT Musim Mas yang memiliki pabrik biodiesel di Medan dengan kapasitas 459.770 kL/tahun dan Batam 896.552 kL/tahun.
Permata Hijau Group:
1. PT Pelita Agung Agrindustri dengan kapasitas 229.885 kL/tahun.
2. PT Permata Hijau Palm Oleo dengan kapasitas 417.214 kL/tahun.
Damex Agro Grup:
1. PT Darmex Biofuels dengan kapasitas 287.356 kL/tahun.
2, PT Bayas Biofuels dengan kapasitas 862.069 kL/tahun.
Energi Unggul Persada:
1. PT Energi Unggul Persada dengan kapasitas 948.276 kL/tahun.
Selanjutnya: Intip Rekomendasi Saham Pilihan untuk Emiten Unggas
Menarik Dibaca: Daerah Ini Alami Hujan Petir, Simak Prakiraan Cuaca Besok (16/12) di Jawa Barat
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News