Reporter: Shintia Rahma Islamiati | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri pulp dan kertas nasional masih menghadapi sejumlah tantangan mendasar meski memiliki basis produksi yang kuat dari hutan tanaman industri (HTI) serat pendek.
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef, M Rizal Taufikurahman, menilai gap pada ketersediaan serat panjang serta ketergantungan terhadap bahan penolong impor seperti garam industri dan bahan kimia bleaching membuat struktur biaya produksi sangat rentan terhadap kurs dan fluktuasi harga global.
“Akibatnya, daya saing biaya kita inferior dibanding produsen besar seperti Brasil atau Skandinavia yang memiliki natural endowment,” jelas Rizal kepada Kontan, Rabu (24/9/2025).
Kondisi semakin berat karena harga energi, khususnya gas, berada di atas standar global, sementara subsektor pulp dan kertas tidak termasuk dalam program harga gas bumi tertentu (HGBT).
Baca Juga: Industri Pulp dan Kertas RI Tertekan Bahan Baku Impor dan Ongkos Energi
Hal ini membuat cash cost lebih tinggi, margin tertekan, dan kemampuan bersaing dengan impor maupun ekspor melemah.
Ia menambahkan, diversifikasi bahan baku memang sudah diupayakan, baik melalui HTI, recovered paper maupun eksplorasi bahan non-kayu, namun kontribusinya masih terbatas.
HTI serat pendek melimpah, tetapi tidak dapat menggantikan kebutuhan serat panjang.
Upaya daur ulang kertas masih terbentur infrastruktur pengumpulan serta regulasi impor recovered paper yang belum konsisten, sementara bahan non-kayu belum bankable untuk skala industri.
“Dengan beban struktural seperti ini, industri kertas dalam negeri menghadapi paradoks: punya kapasitas besar, tetapi daya saing biaya terkikis oleh energi mahal, logistik yang kurang efisien, dan kebijakan bahan baku yang setengah hati,” ujarnya.
Baca Juga: Impor Kertas Murah Rugikan Produsen Dalam Negeri, APKI Desak Perlindungan
Karena itu, Rizal menilai dukungan kebijakan yang mendesak adalah memastikan industri tidak tersandera oleh input shock.
Ia menekankan pemerintah perlu realistis dalam kebijakan garam industri agar tidak menutup impor sebelum pasokan domestik siap.
Selain itu, gas untuk industri energi-intensif seperti pulp dan kertas harus mendapat skema alokasi khusus atau insentif efisiensi energi.
Di sisi lain, pemerintah juga perlu mendorong investasi pada serat alternatif non-kayu, mempercepat penerapan extended producer responsibility (EPR) untuk memperluas daur ulang kertas, serta menjaga konsistensi regulasi perdagangan baik bea masuk maupun SNI agar tidak menambah beban kepatuhan produsen domestik.
“Persoalan daya saing industri pulp dan kertas bukan hanya soal teknologi, tapi juga terkait penguasaan pasokan energi, bahan baku, dan akses kebijakan. Tanpa koreksi cepat di titik-titik kritis itu, industri bisa terus jadi penonton di pasar sendiri,” tegas Rizal.
Baca Juga: Ekspor Pulp dan Kertas RI Tembus 7,2 Juta Ton hingga Juli 2025
Selanjutnya: Empat Bank BUMN Naikkan Bunga Deposito Dolar AS Jadi 4% per 5 November
Menarik Dibaca: Apa itu Quiet Covering dalam Dunia Kerja? Sering Dilakukan Gen Z
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News