Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli
Herman juga mengakui, sulit mengelakkan RUU EBT terkesan membela kepentingan oligarki dan asing. Beberapa klausul dalam RUU itu memicu tudingan tersebut.
Ia mengaku mendengar sejumlah pihak menduga ada sindikat internasional mencoba menguasai berbagai sektor perekonomian Indonesia, termasuk energi. Caranya dengan membuat regulasi yang sesuai kepentingan mereka.
“Soal aturan wajib beli (listrik dari IPP EBT), tidak perlu. Karena itu perlu perencanaan permintaan dan pasokan. Perlu perizinan pembangunan pembangkit,” ujarnya.
Perencanaan dan perizinan adalah cara negara mengendalikan agar jangan sampai ada kelebihan atau kekuraan pasokan energi. Jika setiap pihak dibiarkan membangun pembangkit, maka bisa terjadi kelebihan pasokan dan hal itu menjadi beban.
Baca Juga: Intip saham-saham berbasis ESG pilihan Maybank Kim Eng Sekuritas
Perencanaan itu harus cermat. Harus jelas berapa kebutuhan dan berapa yang akan dibangun. Hal itu berlaku untuk berbagai jenis energi. Sampai sekarang, Indonesia belum punya daftar lengkap sumber pasokan dan kelayakan penggunaannya.
Ketiadaan daftar itu membuat Indonesia sulit membuktikan klaim kaya sumber energi. “Kalau bisa, lengkap di mana letaknya, berapa potensinya berdasarkan studi kelayakan, bagaimana skala keekonomiannya,” ujarnya.
Di negara lain, sudah ada perencanaan kebutuhan. Untuk pemenuhannya, dibuka kompetisi pemasok secara transparan. Di Indonesia, ada peluang sebaliknya. “Saya tidak setuju jika pemerintah melakukan itu,” ujarnya.
Ia juga mengatakan, feed in tariff sebenarnya bagus kala digagas pertama kali. Di Jerman, penetapan dilakukan oleh pihak independen dan kompeten. Sementara di Indonesia, dikhawatirkan penetapan tarif dikhawatirkan melibatkan pihak berkepentingan. “Di Jerman, (feed-in tariff) sudah ditinggalkan,” kata dia.
Selanjutnya: Perusahaan keuangan global berupaya percepat penutupan pembangkit batubara
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News