kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Dewan Energi Nasional ingatkan tidak buru-buru transisi ke energi terbarukan


Rabu, 04 Agustus 2021 / 12:03 WIB
Dewan Energi Nasional ingatkan tidak buru-buru transisi ke energi terbarukan
ILUSTRASI. Dewan Energi Nasional ingatkan tidak buru-buru transisi ke energi terbarukan


Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Pemerintah Indonesia diminta tidak perlu buru-buru melakukan transisi energi dari energi fosil dan energi terbarukan. Meski proses tetap dilakukan, pembangkit fosil tidak serta merta dimatikan sebelum ada sumber lain yang jelas terbukti.

Hal itu diungkapkan, anggota Dewan  Energi Nasional, Herman Darnel Ibrahim. Menurut Herman, Indonesia belum mencapai puncak penggunaan energi.  Indonesia juga berbeda dengan negara di Eropa dan Amerika Serikat. “Mereka sudah mencapai puncak dan sekarang transisi,” kata Herman, dalam webinar Dampak Regulasi EBT Terhadap Ketahanan Energi Nasional, awal pekan ini.

Herman melanjutkan, Indonesia masih membutuhkan berbagai pembangkit saat ini, termasuk PLTU batubara, demi menggerakkan perekonomian nasional. Sampai ada sumber energi yang bisa menggantikan pasokan dari pembangkit saat ini, Indonesia jangan buru-buru berencana menghentikan operasi pembangkit sekarang. 

“Jangan sampai terjebak. Sudah terlanjur mematikan PLTU, ternyata pembangkit EBT tidak siap,” kata dia.

Baca Juga: PLTS Terapung Cirata akan menjadi revolusi pengembangan EBT di dalam negeri

Herman mengingatkan, pembangkit fosil masih mendominasi pasokan energi di Eropa dan Amerika. Meski naik, pembangkit EBT masih rendah kontribusinya dalam penyediaan energi di Eropa dan Amerika. 

Penyebab utama kondisi itu adalah sifat intermitten pembangkit EBT. Pembangkit surya dan angin, yang disebut paling efisien dibanding EBT lain, belum selesai dengan masalah ini. Sebab, energi dari pembangkit angin dan surya tidak bisa terus menerus tersedia.

PLTS hanya bisa menghasillkan daya jika mendapat sinar matahari memadai. Sementara polusi, iklim, dan siklus siang-malam membuat sinar matahari tidak bisa terus tersedia. PLTB pun kurang lebih sama. “Dengan teknologi sekarang, persoalan ini (intermitten) tidak akan selesai,” kata dia.

Dunia membutuhkan teknologi baru untuk meningkatkan kemampuan baterai menyimpan energi.  Jika kapasitasnya bisa ditingkatkan, maka persoalan ini bisa diselesaikan.

Baca Juga: PLTS Terapung Cirata membutuhkan investasi sebesar US$ 145 juta

Kepentingan asing

Herman juga mengakui, sulit mengelakkan RUU EBT terkesan membela kepentingan oligarki dan asing. Beberapa klausul dalam RUU itu memicu tudingan tersebut. 

Ia mengaku mendengar sejumlah pihak menduga ada sindikat internasional mencoba menguasai berbagai sektor perekonomian Indonesia, termasuk energi. Caranya dengan membuat regulasi yang sesuai kepentingan mereka. 

“Soal aturan wajib beli (listrik dari IPP EBT), tidak perlu. Karena itu perlu perencanaan permintaan dan pasokan. Perlu perizinan pembangunan pembangkit,” ujarnya. 

Perencanaan dan perizinan adalah cara negara mengendalikan agar jangan sampai ada kelebihan atau kekuraan pasokan energi. Jika setiap pihak dibiarkan membangun pembangkit, maka bisa terjadi kelebihan pasokan dan hal itu menjadi beban. 

Baca Juga: Intip saham-saham berbasis ESG pilihan Maybank Kim Eng Sekuritas

Perencanaan itu harus cermat. Harus jelas berapa kebutuhan dan berapa yang akan dibangun. Hal itu berlaku untuk berbagai jenis energi. Sampai sekarang, Indonesia belum punya daftar lengkap sumber pasokan dan kelayakan penggunaannya.

Ketiadaan daftar itu membuat Indonesia sulit membuktikan klaim kaya sumber energi.  “Kalau bisa, lengkap di mana letaknya, berapa potensinya berdasarkan studi kelayakan, bagaimana skala keekonomiannya,” ujarnya.

Di negara lain, sudah ada perencanaan kebutuhan. Untuk pemenuhannya, dibuka kompetisi pemasok secara transparan.  Di Indonesia, ada peluang sebaliknya. “Saya tidak setuju jika pemerintah melakukan itu,” ujarnya.

Ia juga mengatakan, feed in tariff sebenarnya bagus kala digagas pertama kali. Di Jerman, penetapan dilakukan oleh pihak independen dan kompeten. Sementara di Indonesia, dikhawatirkan penetapan tarif dikhawatirkan melibatkan pihak berkepentingan. “Di Jerman, (feed-in tariff) sudah ditinggalkan,” kata dia.

Selanjutnya: Perusahaan keuangan global berupaya percepat penutupan pembangkit batubara

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×