Reporter: Dimas Andi | Editor: Putri Werdiningsih
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyebut jumlah tenaga kerja di industri tekstil dan produk tekstil (TPT) mengalami penurunan sejalan dengan tren pemutusan hubungan karyawan (PHK) yang terus-terusan terjadi di sektor tersebut.
Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Direktorat Jenderal Industri, Kimia, Farmasi, dan Tekstil Kemenperin, Adie Rochmanto Pandiangan mengatakan, secara kumulatif tenaga kerja yang terdaftar di industri TPT berjumlah 3.873.127 orang per Februari 2024. Jumlah ini terdiri dari 957.122 orang di industri tekstil atau sektor hulu, serta 2.916.005 orang di industri pakaian jadi atau sektor hilir TPT.
“Jumlah tenaga kerja di industri tekstil dan pakaian jadi mengalami penurunan dibandingkan tahun 2023,” kata Adie dalam diskusi daring, Kamis (8/8).
Dalam hal ini, jumlah tenaga kerja industri tekstil berkurang 7,5% dibandingkan tahun sebelumnya. Pada saat yang sama, jumlah tenaga kerja industri pakaian jadi menurun 0,85%.
Penurunan jumlah tenaga kerja industri TPT tentu bisa bertambah, mengingat gelombang PHK tak kunjung berhenti. Dalam catatan Kontan, Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN) pernah menyebut terdapat sekitar 50.000 pekerja industri TPT yang terkena PHK hingga Juni 2024.
Baca Juga: Indef Beri Alarm Berbahaya, Kejayaan Industri Tekstil Terancam BerakhirKemenperin juga menyebut utilisasi di industri TPT juga mengalami tren penurunan. Untuk sektor hulu atau industri tekstil tingkat utilisasinya berada di level 55,28% pada Juni 2024. Padahal, Januari 2024 utilisasi industri tekstil masih berada di level 57,76%.
Begitu pula dengan industri pakaian jadi atau sektor hilir TPT yang mencatatkan tingkat utilisasi 77,4% pada Juni 2024, berkurang drastis dengan utilisasi pada Januari lalu yakni 85,67%.
Secara umum, industri TPT mencatatkan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) sebesar 1,30% pada kuartal II-2024. Angka ini menurun dibandingkan PDB industri TPT pada kuartal I-2024 yang tumbuh 2,64%.
Kinerja ekspor TPT pun mengalami penurunan 0,85% hingga Mei 2024, sedangkan di saat yang sama impor TPT justru tumbuh 0,63%.
Masalah utama di industri TPT adalah banjirnya impor produk jadi dengan harga yang sangat murah sehingga membuat produsen lokal sulit bersaing. Hal ini diperparah dengan adanya relaksasi impor melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 8 Tahun 2024.
“Produk impor banyak membanjiri market place dan media sosial. Belum lagi impor ilegal dan impor pakaian bekas atau thrifting mudah ditemui di pasar,” ungkap Adie.
Baca Juga: Survei Indef: 64,09% Netizen Meragukan Satgas Impor Dapat Atasi Impor Ilegal
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Danang Girindrawardana menilai, Indonesia menjadi negara dengan kebijakan pengetatan impor yang paling rendah di Asia Tenggara. Risikonya, Indonesia rawan dijadikan tempat penampungan produk-produk manufaktur dari negara lain yang mengalami kelebihan pasokan, seperti China.
Indonesia justru malah mempermudah impor semenjak adanya Permendag 8/2024 yang meniadakan kewajiban pertimbangan teknis (Pertek). Apalagi, Permendag 8/2024 disebut-sebut disahkan ketika Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan sedang tidak berada di Indonesia. Beleid tersebut justru disusun oleh Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi dan Kementerian Keuangan.
“Permendag 8/2024 merupakan kecelakaan sejarah,” terang dia dalam acara yang sama.
API memang mengapresiasi pembentukan Satgas Impor Ilegal yang baru dibentuk pemerintah. Namun, hal itu juga menunjukkan bahwa pemerintah lemah dalam melakukan koordinasi antar kementerian/lembaga ketika mencegah dan menangani importasi ilegal.
“Pemerintah terlalu sering membuat Satgas. Ada masalah apa, muncul Satgas,” ujar Danang.
Lagi pula, lanjut Danang, selama ini belum pernah ada Satgas yang bisa mendorong penegakan hukum. Pembentukan Satgas seolah-olah hanya untuk menyenangkan publik, namun melupakan persoalan utama.
Tak ketinggalan API meminta pemerintah benar-benar transparan mengungkap isi sebenarnya 26.000 kontainer yang sempat tertahan di Pelabuhan Tanjung Priok dan Tanjung Perak. Masalah tertahannya kontainer tersebut menjadi pemicu diterbitkannya Permendag 8/2024.
Sampai saat ini pun API baru mendapat informasi makro saja terkait kasus puluhan ribu kontainer tersebut. Sedangkan ketika kontainer tersebut akhirnya dilepas, para produsen TPT lokal kelimpungan lantaran banyak produk impor di pasar domestik.
"Kami ingin tahu siapa saja importirnya, apa jenis Persetujuan Impor (PI) yang dipegang, pelanggaran apa yang dilakukan sehingga kontainernya ditahan,” pungkas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News