Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sektor pertanian menolak aturan produk tembakau dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang merupakan peraturan pelaksana Undang-Undang (UU) Kesehatan.
Penolakan ini disuarakan oleh para petani cengkeh yang meyakini bahwa dampak dari aturan tersebut dapat mematikan keberlangsungan mata pencahariannya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia (APCI) I Ketut Budhyman Mudhara, mengatakan RPP Kesehatan semestinya fokus pada pengaturan sistem kesehatan nasional, namun isi aturan yang ada saat ini terlalu luas sehingga dampaknya juga melebar, termasuk ke sektor pertanian.
“Ini kesehatan tapi kok mengatur segala hal, bahkan menyangkut cengkeh kita. Padahal, cengkeh adalah bahan baku utama untuk membuat rokok kretek dan 97% di Indonesia adalah rokok kretek,” terangnya di saat diskusi Halaqoh Nasional “Telaah Rancangan RPP tentang Pelaksanaan UU Kesehatan 2023 terkait Pengamanan Zat Adiktif” yang digelar Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) pada pekan lalu.
Baca Juga: Kemenkumham Sebut Rokok Tidak Dapat Dilarang untuk Diiklankan
Budhyman melanjutkan, isi aturan produk tembakau di RPP Kesehatan mengandung begitu banyak larangan bagi produk tembakau yang dapat menurunkan produksi rokok yang tentu berimbas pada merosotnya serapan cengkeh.
“Saat ini, jumlah petani cengkeh mencapai sekitar 1,5 juta orang. Kalau aturan ini diberlakukan, maka ini bisa jadi kerugian bagi para petani cengkeh. Kita sangat bergantung pada industri rokok, terutama rokok kretek.”
Oleh karena itu, pihaknya menegaskan bahwa petani cengkeh tidak setuju dan tegas menolak aturan produk tembakau di RPP Kesehatan.
“Kita tidak setuju dengan isi aturan produk tembakau di RPP Kesehatan yang begitu kerasnya. Karena ini pasti akan menurunkan industri.”
APCI menyarankan kepada Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk mengembalikan aturan produk tembakau ke Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun 2012 (PP 109/2012) yang menurutnya sudah mengatur produk tembakau secara komprehensif.
“Kalau Kemenkes bilang PP 109 tidak efektif, menurut saya karena salah pelaksanaannya. Kan tidak boleh beralasan kalau PP 109 ini nggak benar, sehingga harus diubah karena sudah disusun sedemikian rupa,” ulasnya.
Di kesempatan yang sama, Ketua Tim Kerja Perkebunan dan Tanaman Semusim Lainnya Kementerian Pertanian (Kementan), Yakub Ginting, menilai aturan produk tembakau di RPP Kesehatan berpotensi berdampak negatif terhadap sektor pertanian yang berhubungan dengan industri tembakau, terutama petani tembakau dan petani cengkeh.
Baca Juga: Dorong Kinerja Ekspor Perdagangan Indonesia, Bappebti Kuatkan Integrasi SRG dan PLK
“Kami di Kementan prinsipnya ada di pihak petani. Kami akan melindungi kepentingan petani,” tegasnya.
Selain itu, melalui Biro Hukumnya, Kementan sudah mengajukan kepada Kemenkes agar sejumlah pasal terkait produk tembakau di RPP Kesehatan ditinjau ulang. Diantaranya pasal 439 ayat 1 di RPP Kesehatan terkait kemasan rokok yang mengharuskan minimal 20 batang per bungkus.
”Analisis kami, kalau rokok itu dikemas minimal 20 batang dalam satu bungkus, kemungkinan nanti akan mengganggu penyerapan tembakau,” terangnya.
Serta pasal 457 ayat 7 tentang perintah alih tanam dari tanaman tembakau ke tanaman lainnya yang dipandang bertentangan dengan UU Budidaya nomor 22 tahun 2019. Sebab, UU dimaksud mengamanatkan bahwa petani memiliki kebebasan untuk menentukan jenis tanaman untuk dibudidayakan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News