Reporter: Pratama Guitarra | Editor: Sanny Cicilia
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meminta pemerintah tidak menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) yangs berlaku hanya untuk satu perusahaan saja. Khususnya, untuk PT Freeport Indonesia (PTFI) di tengah negosiasi mengenai stabilitas investasi dan pajaknya.
Ketua Komisi VII DPR Gus Irawan Pasaribu mengatakan, meski negosiasi pemerintah dan Freeport masih berjalan, seharusnya pemerintah tak membuat PP hanya untuk Freeport.
"PP itu seharusnya dibuat untuk mengatur secara umum, bukan untuk satu korporasi," terangnya kepada Kontan.co.id, Jumat (6/10).
Hari Purnomo anggota Komisi VII dari fraksi Partai Gerinda mengatakan, bila benar PP Stabilisasi Investasi dibuat hanya untuk Freeport, hal itu bisa disebut masuk korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) karena menguntungkan pihak tertentu saja.
"Ini namanya memperkaya pihak lain. Sama saja KKN, bisa melanggar Undang-Undang Tipikor (tindak pidana korupsi)," pungkasnya.
Nanti, DPR akan mengatur jadwal untuk meminta penjelasan tentang PP tersebut pada pemerintah, khususnya Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan.
"Tentu akan diagendakan pertemuannya untuk menjelaskan," tandasnya.
Asal tahu saja, pemerintah telah menyiapkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) terkait stabilitas investasi tentang Perlakuan Perpajakan dan atau Penerimaan Negara Bukan Pajak bagi Pertambangan Mineral.
Ada enam pihak yang diatur dalam aturan tersebut, yakni pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) Mineral, IUP Khusus (IUPK), Izin Pertambangan Rakyat (IPR) Mineral, Kontrak Karya (KK), pemegang IUPK Operasi Produksi Mineral, perpanjangan dari pemegang KK yang berakhir sebagai kelanjutan operasi, serta pemegang KK Mineral yang belum berakhir kontraknya dan berubah bentuk menjadi IUPK Mineral.
Terkesan, memang banyak pihak yang mendapat insentif pajak itu. Tapi perlu diketahui, bahwa PP tersebut dibuat di tengah perundingan pemerintah dengan Freeport. Stabilitas perpajakan merupakan satu dari empat poin yang akan disepakati.
Anggota Komisi VII dari Fraksi Partai Nasdem, Kurtubi juga mengatakan bahwa pembuatan PP sewajarnya untuk umum dengan syarat dan ketentuan yang jelas. "Tidak boleh mulitafsir," ungkapnya ke Kontan.co.id, Jumat (6/10).
Seperti diketahui dalam RPP itu, misalnya Freeport akan membayar pajak lebih rendah jika menjadi IUPK, yakni tarif PPh badan 25% dan tambahan pajak bagian pemerintah pusat 4% dan pemda 6% dari laba bersih. Dibanding sebelumnya memakai Kontrak Karya Pph badan 35%.
Tapi, Kurtubi bilang, dengan tambahan yang 4% + 6% akan menghasilkan jumlah yang sama dengan 35%. Dengan bersedianya Freeport merubah KK menjadi IUPK maka kewajiban mereka sama dengan pemegang IUPK lainnya.
"Bahkan sekarang Pemerintah akan memperoleh tambahan pemasukan dari deviden saham yang 51% plus manfaat multiplier effect dari (akan) dibangunnya infrastruktur pemurnian (smelter) di dalam negeri dimana sebelumnya dilakukan di luar negeri," tandasnya.
Tak lupa ia bilang, untuk meminta penjelasan lebih lanjut mengenai PP stabilitas investasi ini. Maka, melalui jadwal Komisi VII Menteri ESDM akan dipanggil secepatnya untuk dimintai penjelasannya.
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Satya W Yudha menilai pemerintah harus memastikan posisinya kuat terhadap Freeport. “Yang penting prevailing law (pajaknya), maksudnya tergantung hukum pajak yang berlaku. Adakalanya nanti penerimaan negara naik,” tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News